JAKARTA (Pos Sore) — Perkembangan teknologi informasi, kegiatan di sektor perdagangan baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dengan melihat kecenderungan tersebut, dibutuhkan suatu pengaturan hukum merek yang lebih memadai dalam rangka terciptanya suatu kepastian dan perlindungan hukum yang kuat.
Demikian disampaikan Direktur Merek dan Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & HAM, Nofli, saat membuka diskusi virtual “Itikad Tidak Baik dalam Penggunaan Kata Umum (Deskriptif) Sebagai Merek & Bagaimana Membangun Daya Pembeda Suatu Merek Agar Menjadi Distinctive Dibandingkan Merek Lain yang Sudah Terdaftar”, Senin (22/2/2021), yang diadakan Institut Pandya Astagina.
Merek menurut UU No. 20/2016 didefinisikan sebagai tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 dimensi dan/atau 3 dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa.
“Merujuk pada definisi tersebut, tanda yang digunakan sebagai merek harus memiliki daya pembeda yang kuat sehingga konsumen dapat membedakan identitas suatu produk tertentu dengan produk sejenis lainnya di pasaran,” ungkap Nofli.
Jika tanda hanya berfungsi sebagai petunjuk atas bentuk, kualitas, fungsi atau karakteristik lain dari barang atau jasa yang dituju, maka konsumen hanya bisa memanfaatkan hal tersebut sebagai sarana untuk mendapatkan informasi umum mengenai barang atau jasa yang dimaksud.
“Jadi tanda tersebut tidak dapat berfungsi sebagai petunjuk sumber atau asal produk. Tanda demikian tidak dapat digunakan secara eksklusif oleh siapapun karena fungsi sebagai daya pembeda tidak terpenuhi,” kata Nofli.
Sehingga, lanjut Nofli, kemungkinan terjadi penggunaan tanda yang sama dalam perdagangan oleh pihak lain untuk barang sejenis sangat besar karena penggunaan tanda dimaksud sudah lazim untuk jenis barang tertentu.
“Ketika suatu tanda lazim digunakan untuk menunjukkan barang atau jasa tertentu, maka konsumen akan menganggapnya sebagai tanda umum yang hanya mengindikasikan produk itu sendiri.”
Nofli menambahkan, daya pembeda yang diperoleh sebuah merek diperoleh melalui penggunaan di pasaran sehingga membuat konsumen mengenalinya sebagai tanda yang berfungsi sebagai identitas sumber barang atau jasa. Daya pembeda tersebut diperoleh karena adanya makna sekunder (secondary meaning) dari tanda yang bersifat deskriptif.
Tanda deskriptif adalah kata, gambar, atau simbol yang menggambarkan karakteristik suatu produk barang atau jasa seperti kualitas, kuantitas, rasa, ukuran, warna, tujuan, target konsumen, material pembentuk, atau efek pada pengguna produk yang menggunakan tanda dimaksud.
“Tanda seperti ini tidak berfungsi sebagai merek karena masyarakat menganggapnya hanya sebagai gambaran suatu produk,” kata Nofli.
Tetapi, lanjutnya, tanda tersebut masih mungkin untuk didaftarkan sebagai merek apabila pemilik merek dapat menunjukkan bahwa konsumen mampu mengenali tanda tersebut sebagai identitas sumber produk dengan bukti-bukti penggunaan, yang biasa disebut dengan istilah secondary meaning.
Namun, menurut Nofli, pada praktiknya tidak ada garis yang jelas bagaimana suatu tanda deskriptif telah mendapatkan makna sekunder atau tidak. Pembuktian akan bersifat kasuistis. Bukti-bukti tersebut dapat berupa dokumen penggunaan merek, iklan, penelitian pasar, penjualan, katalog, foto, survei dan lain-lain.
“Pembuktian harus secara layak menunjukkan faktor-faktor yang meliputi tempat, waktu, dan luasnya penggunaan merek,” urai Nofli.
Dilution Doctrine
Pada kesempatan yang sama, Hakim Agung MARI, Ibrahim mengungkapkan adanya kondisi dilution doctrine, suatu kondisi di mana suatu merek dapat melemahkan (dilute) esensi atas keunikan dan perbedaan dari merek lain, yang mana secara simultan dapat merugikan pemilik merek selaku pemegang hak yang sah.
Menurut Ibrahim, konsep dilusi merek tidak dapat digunakan terhadap suatu merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut atau secondary brand. Sementara kalimat atau istilah deskriptif seringkali mengandung kata-kata yang umum digunakan sehari-hari (generic words) oleh konsumen dan pelaku usaha.
Klaim atas generic term (istilah generik) untuk memperoleh hak eksklusif Merek selayaknya ditolak, karena berpotensi timbulnya upaya monopoli yang berujung pada sengketa. Tidak ada peraturan secara spesifik mengenai doktrin dilusi merek dalam konsep hukum merek di Indonesia.
“UU Merek hanya mengatur penggunaan istilah generik dan kalimat deskriptif pada merek yang telah terdaftar,” jelas Ibrahim.
Pasal 22 dari UU Merek menyatakan “Terhadap merek terdaftar yang kemudian menjadi nama generik, setiap orang dapat mengajukan Permohonan Merek dengan menggunakan nama generik dimaksud, dengan tambahan kata lain sepanjang ada unsur pembeda…”
Ibrahim mencontohkan merek yang daya pembedanya menjadi melemah/menghilang antara lain merek Odol Clasic, Pralon-pertama dan terbaik, Pingpong-the original, dan Tipp-Ex.
Sementara penggunaan secondary trademark atau unsur tambahan dari suatu merek yang digunakan untuk membangun persepsi konsumen dengan menggunakan kata umum misalnya kata “Mi Goreng” dari IndoMie, kata “Anti Noda” dari Rinso, dan kata “Anti Nyamuk” dalam kemasan HIT.
Itikad Tidak Baik
Sementara Kasubdit Pemeriksaan Merek DJKI, T. Didik Taryadi dalam kesempatan yang sama mengatakan, dalam Pasal 21 ayat (3) UU Merek dan IG, bahwa Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik.
Adapun yang dimaksud dengan “Pemohon yang beriktikad tidak baik” adalah pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
“Beritikad tidak baik itu mencakup meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain. Misalnya meniru bentuk tulisan/lukisan merek pihak lain. Kemudian membonceng, meniru, atau menjiplak merek terkenal milik pihak lain. Dan Menjiplak karya cipta milik pihak lain. Itikad tidak baik dalam UU Merek dan IG dikaitkan dengan penjiplakan/peniruan merek milik pihak,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Konsultan HKI (AKHKI), Suyud Margono dalam kesempatan yang sama, menyoroti perbuatan curang penerapan nerek (consumers misleading). Bentuk-bentuk tindakan penyesatan terhadap pengguna/ konsumen dalam menentukan produk, umumnya dalam produk barang kebutuhan pokok (konsumsi).
“Pelaku Usaha menggunakan label merek yang mengarahkan konsumen berpikir atau mengasosiasikan secara kasat mata. Nah, kemiripan label (similarities/ identical) kasat mata karena bentuk yang ada. Padahal merek seharusnya tidak mendeskripsikan fungsi, keterangan, kualitas produk,” jelas Suyud.
Dia juga menyoroti soal itikad tidak baik yang diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UU Merek dan IG. Menurutnya, ada masalah dalam implementasi pasal tersebut, sebab ketentuan ini masuk dalam fase pemeriksaan substantif meski secara sistemik seharusnya permohonan “ditolak” atau “tidak diterima” namun sesungguhnya merupakan diskresi pemeriksa substantif (discretion).
Suyud membandingkan dengan norma ketentuan (Pasal 20 huruf c UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis), perihal merek tidak dapat didaftar yang menyebut, ”Merek tidak dapat didaftar apabila memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.”
Untuk diketahui, MA mencatat terjadinya sengketa merek akibat kemiripan nama di Indonesia, antara Sis Continents Hotels, Inc. pemilik “HOLIDAY INN” & “HOLIDAY INN RESORT” dengan PT Lombok Seaside Cottage pemilki “HOLIDAY RESORT LOMBOK”. Lalu ada PT Puri Intirasa “WAROENG PODJOK” melawan Rusmin Soepandhi “Warung Pojok” & “Warung Pojok Kopi”.
Sementara di luar negeri telah terjadi suatu kasus di mana Perusahaan Food & Beverages asal India yang menggugat perusahaan pelopor mi instan atas penggunaan merek “Maggixtra – delicious Magical Masala”.
Menurut Penggugat, Tergugat telah melakukan pendaftaran merek “Maggixtra – delicious Magical Masala” dengan itikad tidak baik dan bertujuan untuk mendompleng keterkenalan merek “Sunfeast Yippie! Noddles Magic Masala” milik Penggugat.
Selain itu, penggunaan kata kemasan pada produk mi instan Tergugat juga dipermasalahkan sebagai Tindakan Passing-Off oleh Penggugat. Namun, dalam sengketa tersebut, Majelis Hakim menolak gugatan tersebut.
Majelis Hakim berpendapat bahwa penggunaan kata “Magic” atau “Magical” merupakan kata umum yang bersifat menonjolkan rasa dari kedua produk dan kata “Masala” adalah jenis garam yang diolah dengan dari rempah-rempah dan merupakan istilah yang umum dalam industri makanan.
“Secara empirik, contoh kasus sengketa di atas mencerminkan adanya persaingan bisnis yang kurang sehat. Sejatinya perilaku konsumen saat ini membuat persaingan usaha antar perusahaan tumbuh dengan baik,” ungkap Suwantin Oemar, S.H., selaku Ketua Institut Pandya Astagina. (tety)