DEBAT calon presiden/ wakil presiden yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) babak pertama sudah berlalu. Tapi tak sedikit pun rakyat pemilih /pemirsa mendapat gambaran jelas tentang program dua kandidat yang bersaing. Terutama, untuk melihat dan mengukur, apakah program kedua kandidat presiden akan meneruskan atau tidak program pemerintahan SBY selama 10 tahun terakhir.
Debat capres sebenarnya — kalau dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para kandidat — sangat bermanfaat bagi rakyat pemilih. Debat capres tak ubahnya kampanye pemilu legislative di mana para kandidat mengobral janji-janjinya. Bedanya, tentu pada platform perjuangan. Jika caleg pada saat kampanye dapat dikatakan cenderung mengumbar janji, maka calon presiden/ wapres tentu lebih banyak bicara soal visi dan misi, soal program sesuai platform. Dalam hal ini, platform tentu sesuai dengan ideologi yang dianut masing-masing kandidat.
Presiden di negeri kita adalah pucuk pimpinan tertinggi. Bahkan Kepala Negara yang menakhodai NKRI, yang menentukan ke arah mana negeri ini akan dibawa, setidaknya selama lima tahun ke depan. Dan untuk bisa tahu ke mana arah, tentu kita harus lebih dulu mengetahui di mana posisi saat ini. Inilah yang dapat dijadikan dasar argument atau alasan, kenapa pertanyaan– meneruskan atau tidak meneruskan program pemerintahan SBY — relevan diajukan.
Sayangnya, pada debat babak pertama yang digelar KPU, Senin malam pekan ini (9/6), pemirsa atau calon pemilih tak dapat mengetahui persis, apakah program para kandidat yang berdebat itu sejalan atau tidak dengan program pemerintahan SBY. Debat yang terjadi, nyaris kering kerontang dipandang dari segi pentingnya ideologi sebuah Negara.
Joko Widodo alias Jokowi – sejauh yang dapat kita catat — hanya sempat mengatakan akan meneruskan program-program pemerintahan SBY yang baik. Demi kesinambungan pembangunan. Sebuah pernyataan yang terlalu umum.
Sementara Prabowo hanya kembali mengingatkan tekadnya untuk menghilangkan atau mengurangi kebocoran pendapatan negara yang jumlahnya sangat banyak, dan agar kekayaan negeri ini tak hanya dinikmati pihak asing, sementara rakyatnya miskin.
Kenapa jawaban terkait program pemerintahan SBY ini harus mendapat tempat penting di dalam substansi debat capres?
Dalam pandangan kita, karena selama 10 tahun belakangan ini program-program pemerintah – terutama yang terkait dengan pembangunan ekonomi – cenderung berbau neo liberalisme (neolib) yang sangat pro asing dan pro pasar. Negeri ini cenderung jadi negeri pedagang, yang nyaris mengandalkan hampir seluruh kebutuhan pokok hidup rakyatnya dari impor.
Sementara sebagaimana sering diumbar, kedua capres sama-sama mengaku mengusung nasionalisme. Yang satunya menggelorakan kembali ke semangat Pasal 33 UUD 45, dan yang satunya menggembar-gemborkan ajaran Trisakti-nya Bung Karno.
Namun sejarah juga mencatat, kedua calon presiden tak bisa memungkiri sama-sama memiliki calon pendamping (cawapres) yang sama-sama pernah membantu Presiden SBY. Apakah ini yang menyebabkan kerontangnya debat capres? Semoga pada babak –babak berikut moderatornya (atau KPU?) dapat lebih mengarahkan debat, agar rakyat Indonesia dapat tahu, apakah pemerintahan yang akan datang hanya sekadar pemerintahan pragmatism yang cenderung meneruskan ideologi neolib, atau pemerintahan nasionalis yang berkepribadian.Semoga. (***)