Oleh Metha Madonna
Penulis adalah Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kerap diterpa wabah penyakit menular. Sejarah mencatat berbagai jenis wabah telah melanda seperti Pes (1911), Malaria (1950), Demam Berdarah (1968) dan pandemi Covid-19 (2020-2023).
Krisis kesehatan yang panjang dan lambannya recovery ketika diterpa wabah, lantaran belum optimalnya sejumlah faktor penunjang bidang kesehatan masyarakat. Di antaranya minimnya fasilitas layanan kesehatan (Posyankes), industri farmasi dan peralatan medis serta terdapat keterbatasan jumlah tenaga kesehatan baik dokter, perawat, apoteker, penyuluh fungsional dan lainnya.
Optimal atau tidaknya faktor fundamental dalam membangun kualitas kesehatan masyarakat tersebut, ditentukan oleh anggaran kesehatan yang dialokasikan Negara.
Sebetulnya, pasca reformasi hingga Pemerintahan sekarang telah terjadi peningkatan anggaran kesehatan secara signifikan. Bahkan pada saat dilanda pandemi Covid-19, Pemerintah sempat mengucurkan lebih dari Rp300 triliun untuk penanganan wabah.
Namun, setelah pandemi mereda dan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dicabut, maka anggaran kesehatan ikut dinormalisasikan, yang pada awal 2023 lalu menjadi hanya Rp111 triliun alias dipangkas hampir 63 persen. Realita tersebut menyadarkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk segera memprioritaskan langkah promotif dan preventif ketimbang melakukan tindakan kuratif.
Lantas, langkah promotif dan pereventif macam apa yang dapat dilakukan Kemenkes mengingat keterbatasan jumlah tenaga kesehatan khususnya penyuluh fungsional? Apalagi pada awal 2025 beberapa penyakit menular terindikasi mulai berjangkit seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jakarta (670 kasus), Leptospirosis di Jakarta (39 kasus), serta Tuberkulosis (TBC) yang saat ini menjadi fokus penanggulangan dari pihak Pemerintah Daerah.
Sebelum penyakit menular itu menjadi wabah atau ditetapkan sebagai Kondisi Luar Biasa (KLB), maka perlu dilakukan penyuluhan kesehatan yang lebih gencar, masif dan tepat menyentuh sasaran yaitu masyarakat di daerah rawan wabah.
Kemenkes mesti menerapkan konsep penyuluhan yang dapat melampaui kendala geografis wilayah nusantara berupa wilayah yang luas, terpisah atau terdalam. Kendala demografi penduduk berupa karakteristik permukiman padat, terklaster (perumahan) atau menyebar.
Berdasarkan realita dan kepedulian terhadap perlindungan keamanan kesehatan publik, maka penulis giat melakukan kajian literatur serta mengenai metode dan teknik penyuluhan kesehatan yang relevan serta kekinian. Sebagai mahasiswa lulusan Program Studi Komunikasi Pembangunan (KMP) di Fakultas Ekologi Manusia IPB University, kajian penyuluhan dan komunikasi kesehatan jadi fokus penelitian (desertasi) penulis mengingat penyuluhan adalah tindak pencegahan primer.
Sebelumnya dalam beberapa diskusi dengan para pembimbing (promotor) dan praktisi kesehatan, terjadi perdebatan soal terminologi penyuluhan yang dianggap jadul dan tinggal sepenggal cerita dari konsep promosi kesehatan yang dicanangkan pada Deklarasi Ottawa (1986).
Berdasarkan sejarah publikasi media konvensional era Orde Baru, khususnya 1980-1990, menunjukkan kegiatan penyuluhan yang dilakukan para dokter muda dalam program ikatan dinas, mantri dan juru suluh kesehatan punya kontribusi dalam perbaikan kualitas kesehatan masyarakat pada masa itu.
Argumentasi bahwa penyuluhan lebih dari sekadar penyebaran informasi, sosialisasi atau edukasi melainkan berkomunikasi untuk merubah perilaku (communicate to influence), telah menggelitik pemikiran beberapa sejawat eks redaksi majalah IDI News untuk mengoreksi konsep Promkes yang cenderung iklanisasi serta berkonotasi jualan (profitable).