Oleh: Maghfur Ghazali
KETIKA Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali ke kampus almamaternya, Universitas Indonesia, publik tentu berharap ada dialog terbuka antara negara dan generasi muda. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih berdiskusi, mahasiswa UI harus menelan kekecewaan karena pertanyaan-pertanyaan mereka tidak dijawab.
Sikap bungkam Sri Mulyani seakan mencerminkan wajah pemerintah hari ini: lebih pandai menghindar ketimbang mendengar. Padahal, menurut Jurgen Habermas (1962) dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, ruang publik seharusnya menjadi arena rasional-kritis, di mana pemerintah dan rakyat bisa berinteraksi setara, bertukar argumen, dan mencari solusi bersama. Ketika pemerintah menutup ruang itu, demokrasi kehilangan ruhnya.
BEM UI sebenarnya tidak menanyakan hal yang muluk. Tiga pertanyaan yang diajukan justru menyentuh isu mendasar: gaji guru dan dosen, proyek Coretax, serta pemangkasan dana transfer ke daerah yang berimbas pada kenaikan pajak rakyat.
Proyek Coretax sendiri adalah program modernisasi sistem administrasi perpajakan di Indonesia yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Coretax bertujuan mengganti sistem lama dengan sistem terpadu berbasis teknologi digital agar proses pengelolaan data pajak lebih cepat dan transparan, pelayanan wajib pajak lebih mudah, dan pengawasan kepatuhan pajak lebih efektif.
Namun, proyek ini menuai kritik karena menelan anggaran besar (puluhan triliun rupiah) dan celakanya masih menyisakan banyak kendala teknis dalam implementasinya. Sebut saja masih sering crash dan data mismatch, bahkan DJP sendiri mencatat setidaknya ada 22–26 kendala dalam penggunaan Coretax—mulai dari gagal menerima sertifikat elektronik, error saat login, OTP tidak terkirim, hingga data profil wajib pajak yang tidak muncul atau tidak sinkron.
Kondisi ini membuat pelaporan pajak, terutama kredit PPN, kini jadi sangat merepotkan—wajib pajak harus memilih faktur satu per satu, bukan impor lewat Excel seperti sebelumnya. Ini jelas memberatkan UMKM yang tidak memiliki staf akuntansi dal lainnya.
Tiga isu ini menggambarkan kegagalan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya. Negara, kata teoritisi kontrak sosial John Locke, dibentuk untuk melindungi hak-hak rakyat—terutama hak atas pendidikan, ekonomi yang adil, dan keadilan sosial. Ketika beban justru dialihkan ke pundak rakyat, ke mana arah negara ini dibawa?
Sikap Sri Mulyani yang memilih bungkam tidak hanya melukai mahasiswa, tetapi juga memperlihatkan lemahnya komunikasi politik pemerintahan hari ini. Pemerintah tampak gagap menghadapi kritik, lalu membalas dengan represi aparat.
Dalam teori komunikasi politik, Lasswell pernah menyebut fungsi utama komunikasi adalah who says what, in which channel, to whom, with what effect. Bila “what” yang disampaikan pemerintah adalah diam, maka “effect”-nya jelas: ketidakpercayaan publik. Akumulasi ketidakpercayaan ini bisa lebih berbahaya daripada defisit APBN.
Transparansi dan Dialog
Kita tentu tidak ingin bangsa ini terjebak dalam siklus “pemerintah bicara, rakyat diam; rakyat bicara, pemerintah bungkam.” Untuk keluar dari krisis ini, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh:
Petama adalah bangun komunikasi dua arah, pemerintah harus menghidupkan kembali forum-forum dialog publik, bukan sekadar seremoni formal. Kedua, harus ada transparansi kebijakan fiskal karena setiap kebijakan anggaran harus dijelaskan secara sederhana, bukan jargon teknokratis. Rakyat berhak tahu kemana uang mereka mengalir, dan ketiga harus ada kuntabilitas sosial. Mahasiswa, media, dan masyarakat sipil perlu diberi ruang yang aman untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan. Represi hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan.
Bungkamnya Sri Mulyani di hadapan mahasiswa UI sebetulnya lebih dari sekadar momen singkat di kampus. Ia adalah simbol dari persoalan yang lebih besar: pemerintah yang takut pada pertanyaan rakyatnya sendiri.
Kritik mahasiswa dengan tagar #RezimTukangRampok mungkin terdengar keras. Namun, justru di situlah letak cerminannya—bahwa generasi muda masih mau bersuara, meski berhadapan dengan tembok kebisuan kekuasaan. Dan selama suara itu tetap hidup, ada harapan bahwa negeri ini bisa kembali ke jalannya: negara yang hadir untuk rakyat, bukan negara yang lari dari rakyat.[]
Penulis adalah Dosen Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Institut Attaqwa KH. Noer Alie (IAN) Bekasi.