Oleh MPU WESI GENI
BAGIAN KEDUA
KASTIN menarik selendangnya dengan hati-hati, sampai anak buaya itu naik ke pangkuannya dengan beralaskan selendang jarang. Sungguh pun jari-jarinya yang kecil terasa menggelikan ketika tersentuh lengan Kastin, ia senang hati juga karena makhluk kecil itu dapat dibawanya bepergian ke hulu Cimandiri.
Perahu Ojong telah merapat diikuti oleh empat orang dari seberang yang ingin mengetahui dari dekat bagaimana peristiwanya ketika Sawir diterkam buaya ketika subuh di pinggir sungai.
Semua mereka menjenguk ke celah kain selendang Kastin, yang kelihatan bergerak-gerak oleh dua pasang kaki kecil berkuku, sungguh pun dari celah-celah benang selendang yang jarang itu kelihatan juga ujud sebenarnya makhluk lucu itu.
‘’Makannya apa Tin?’’ Tanya Ojong yang sejak di sekolah dulu telah berteman rapat. Begitu juga dengan suami perempuan itu, Jurum.
‘’Air susuku sendiri,’’ jawab Katin.
Mereka semua sama heran. Sebab sudah lama tidak pernah terdengar bahwa Kastin melahirkan anak lagi. Sedangkan Jurum kelihatan kurang gembira dengan ucapan Kastin yang terus terang itu. Bukan tidak mungkin bahwa makhluk aneh itulah yang dituduhkan sementara orang sebagai anaknya sendiri, sungguh pun sebagian besar orang mengetahui bahwa perut isterinya tidak pernah membesar sesudah melahirkan anaknya yang kedua.
‘’Pukul berapa kita akan sampai di sana?’’ Templak Jurum karena melihat derasnya arus Cimandiri.
‘’Kita berempat berkayuh, agak di tepi arusnya akan berkurang, kita akan cepat sampai di sana,’’ jawab Ojong.
Dua galah panjang digunakan untuk menohok dasar sungai, penolong dua buah kayuh yang mengantarkan perahu mereka ke tempat orang ramai berkumpul melingkungi kejadian bencana yang menimpa keluarga Sawir. Melewati dua buah belokan, telah kelihatan orang berbondong di tepi Cimandiri. Semakin dekat, bertambah jelas suara-suara yang menuding-nuding tepi sungai, tempat Sawir hilang ke dalam air.
‘’Mungkin itulah tempat Sawir diterkam, yang ditunjukkan mereka,’’ ujar Ojong dari buritan perahu diiringi bunyi kecipak pendayung yang menyelam ke dalam air di buritan.
‘’Ahooooooiiiiii….,’’ teriak Ojong. Sejenak, semua kepala orang-orang yang ada di tepi sungai tertoleh kepada ujung perahu mereka yang muncul di tepi sungai. Beberapa orang melangkah ke air, menarik perahu Ojong.
‘’Eh…Tin, kau bawa dia?’’ Kata beberapa orang dari tepi sungai, yang melihat Kastin menyimpan sesuatu di tampungan selendangnya.
Kastin tak menjawab, hanya menjenguk celah selendang yang dibukanya dengan hati-hati.
Beberapa orang berkerumun mengelilingi Kastin, heran melihat anak buaya yang jinak itu. Semuanya merasa ingin memiliki makhluk kecil lucu itu.
‘’Mungkin anak buaya perempuan’’ kata salah seorang.
‘’Mana kami tahu…’’ jawab Jurum, ‘’ikan di laut pun tak dapat ditentukan jantan-betinanya, walau setiap hari kau makan,’’
Soleh ikut tertawa mendengar ocehan Jurum yang terasa ada benarnya. Dari tengah orang ramai muncul seorang tua yang kelihatannya disegani, karena orang ramai memberikan jalan kepadanya untuk maju ke tepi sungai.
‘’Apa yang dapat dibuat bayi kecil ini terhadap ini semua …Tin?’’ Ujar Ki Sukak, yang dahulu sangat terkenal, sebelum ia telah tua sekali.
‘’Entahlah…Mbah, kami terdorong perasaan hati saja untuk membawanya serta,’’ jawab Jurum, sambil melihat kepada isterinya, Kastin.
Ki Sukak melihat wajah Kastin, bagai membenarkan perkataan suami perempuan itu.
Kelihatan dua perahu berisi orang banyak turun dari hulu. Tak ada suara dari atas perahu itu yang menggembirakan. Oleh karena itu Ki Sukak diam saja, merenung di tepi sungai itu.
‘’Mari kita coba!’’ Tiba-tiba Ki Sukak berkata, setelah ia memejamkan matanya sesaat kemudian.
‘’Akan kita apakan?’’ Tanya Jurum memegang isterinya.
‘’Akan kita coba melepaskannya di permukaan air. Apa yang terjadi?’’ Tukas Ki Sukak, diiringkan pandangan mata orang banyak penuh pertanyaan.
Dengan ragu-ragu Kastin melihat kepada Jurum, sambil merendahkan kain selendangnya ke permukaan air Cimandiri. Ketika air itu menggenang dalam kain selendang jarang, kelihatan anak buaya kecil itu senang sekali. Menggelinjang-gelinjang, seolah-olah ia minta kebebaan penuh. Agaknya ia ingin berenang ke satu arah, yaitu ke hulu sungai.
‘’Ayo, kita iringkan dengan parahu,’’ perintah Ki Sukak diiringi beberapa orang yang mendorongkan perahu dari pasir ke dalam air. Semuanya menunggu Kastin menarik kain selendangnya. Hal itu terjadi juga.
Mudah sekali menandai makhluk kecil yang putih bersih itu menuju kehulu. Dengan ekornya yang kecil melawan arus. Sedang kepalanya sebagian timbul di permukaan sungai, membuar air sungai terbelah, seperti bekas ranting kecil terseret di permukaannya. Masing-masing membayangkan betapa dahsyatnya jika buaya ini besarnya seperti lebarnya punggung meja, yang putih melepak. Orang semakin berani berbicara. Hampir sama cepatnya dengan haluan perahu membelah air, buaya kecil itu mengibas-ibas ekornya kehulu. Tiba-tiba ia menghilang sebentar.
‘’Kemana dia?’’ Teriak Jurum, ‘’apa ia pergi begitu saja?’’
‘’Tunggu saja sebentar,’’potong Ki Sukak.
Semua perahu terdiam, dengan berpegang kepada galah yang tertancap di lumpur sungai. Tiba-tiba nampak suatu benda yang akan timbul. Besar dan panjang, seperti pelepah kelapa yang terangkat dari bawah air.
Semuanya terkejut dengan suara berbagai rupa. Untung saja perahu mereka tidak oleng. Karena ternyata yang timbul itu punggung buaya yang besar, dengan mulutnya yang menjepit seseorang yang telah diam, kaku.
‘’Ayoh…. buru dengan perahu. Awas ekornya jangan memukul perahu kalian!’’Perintah Ki Sukak.
Sementara itu, kelihatan cahaya putih seperti bulan sabit timbul kembali ke permukaan sungai, sambil menurut arah buaya besar itu menyelam kembali.
‘’Ikuti saja dia. Pasti buaya itu berada di bawahnya. Kemana ia akan lari? Teriak Ki Sukak dengan suara tuanya yang serak.
Semua perahu berkayuh kembali dengan cepat. Ada yang sambil memukul-mukulkan galah ke dalam air. Orang dari seberang menyeberang sungai mengikuti peristiwa itu sambil melangkah di semak-semak menuju hulu.
‘’Itu dia, itu dia,’’ sahut orang dari tebing, setelah melihat buaya kecil itu timbul kembali memimpin arah perahu yang menyusuri jejak buaya yang menerkam Sawir.
Dari arah hulu, kelihatan dua buah perahu yang kelihatan dilengkapi dengan beberapa buah tombak tempuling yang siap dihunjamkan ke dalam air. Ketika buaya itu timbul untuk keempat kalinya, disambut dengan tempik sorak dan iringan tombak yang dilepaskan ke dalam air. Kelihatan sesuatu terlepas dari mulut buaya itu.
‘’Lemparkan jala,’’ terdengar teriakan Ki Sukak.
Beberapa orang mengerti, bahwa tubuh Sawirlah yang dilepaskan buaya itu dari rahangnya. Maka jala pun bertemprasan dari segala penjuru haluan perahu. Ketika tubuh Sawir yang seperti orang membungkuk seperti orang tidur kedinginan itu terangkat kedalam jala, hiruk pikuk pun terjadi, tubuh Sawir diangkat dan dimasukkan ke dalam perahu.
Buaya kecil putih itu mengelilingi peristiwa itu sesaat. Tetapi kemudian dengan cepat pula ia kembali ke arah hulu. Kelihatan dari bawah ada gelembung-gelembung air yang diikutinya dari atas. Tiga buah perahu yang berisi mereka yang lebih muda-muda mengikuti bayi buaya putih itu, bahkan ada yang berani melepaskan tombak ke bawah permukaan air.
Sungguh pun buaya yang membawa korban itu belum kelihatan, beberapa orang ada yang terdorong oleh kemarahan, berenang mengikuti bayangan putih di permukaan air. Sebuah tombak terlihat terpacak di satu tempat yang menyongsong air. Permukaan air yang melalui batang tombak menimbulkan garis panjang yang mudah ditandai.
Buaya besar itu tak dapat lagi menyembunyikan diri dari mata orang banyak. Karena tombak yang tersisip di tubuhnya telah muncul sebagai antena kapal selam keluar air sungai. Semua orang mengikutinya. Sementara sebuah perahu yang mengurus Sawir telah berkayuh perlahan ke arah muara.
Akhirnya semua perahu menujukan berpuluh tombak ke arah tombak yang terpacak, tepat ketika batang tombak kelihatan memanjang di atas permukaan sungai. Sebagai tanda tubuh buaya itu hampir mengapung. Tujuh tombak tersisip pada punggung dan bahagian batang tundun ekor buaya itu, sehingga ia memukul-mukulkan ekornya seperti batang pisang yang dihempaskan.
Tetapi orang banyak menjadi kalap. Mereka berani dari atas perahu menarik tombak yang bermata seperti pancing yang disebut sebagai tempuling itu.
Dengan penuh huru-hara akhirnya buaya itu terseret juga ketepi sungai setelah beberapa tali ijuk melilit tubuhnya. Menyedihkan juga nasib buaya itu akhirnya. Kulitnya koyak-koyak oleh kampak penebang pohon.
Orang memandang berkeliling….karena bayi buaya putih yang tadinya mereka ikuti menghilang begitu saja. Semuanya memandang ke tengah sungai sambil bersedih hati. ‘’Dia tak muncul lagi!’’ Dengus Ki Sukak.
‘’Mungkin ia telah pergi kepada yang datang semalam,’’ jawab Jurum.
‘’Siapa?” Tukas Ki Sukak lagi.
‘’Orang besar berketopong logam, dan bertongkat berat!’’
Sebahagian besar orang saling berpandangan, sambil menarik nafas panjang-panjang. (Ikuti terus kisah berikutnya/ras)