-1.1 C
New York
02/12/2024
Misteri

BUAYA PUTIH CIMANDIRI (1)

Oleh MPU WESI GENI

BAGIAN SATU

CIMANDIRI, sebuah sungai besar yang menampung anak-anak sungai, sejak Sukabumi, Gunung Salak, Parungkuda, dan Cibadak,  mengalirnya membelah menurut arah Kiblat menuju Teluk Ladam Kuda, Pelabuhan Ratu. Di teluk itulah, ibarat sabut kelapa yang terapung-apung, perahu-perahu ikan terayun-ayung bersama ombak

                                                                   ———-

KASTIN  berjalan menyusuri pantai Cimandiri. Ia menangguk udang-udang kecil yang berkejeletan di tepi sungai sungai. Hari itu suaminya Jurum, tidak turun kelaut, karena perahu-perahunya telah lapuk.Telah beberapa kali ditambal dengan papan lain, namun bahagian lain mengikuti bahagian yang telah diganti. Entah untuk berapa lama Jurum terpaksa tidak akan turun ke laut, karena biaya pembeli papan tebal dan penambal perut perahu tak ada tersimpan satu sen pun di bawah tikar tidur mereka.

‘’Ditambalpun, hampir tidak ada gunanya,’’ ujar Jurum, ‘’paling lama tiga minggu, bahagian lain telah ikut lapuk pula!’’

‘’Jadi, apakah abang berharap sebuah pohon kayu besar yang tumbang dari pegunungan, untuk dijadikan perahu?’’ Katin bertanya dengan wajah cemas seorang ibu, yang was-was melihat payudaranya sendiri yang tidak lagi akan mengeluarkan susu.

‘’Entahlah….Tin! Biarlah aku di rumah saja. Kaulah sementara memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk menyambung hidup ini.’’

Terdengar bunyi kaleng beras diguncang Katin di dapur berdinding tepas. Bunyi kaleng yang kosong itu bagai mengancam hidup mereka hari ini dan seterusnya. Jurum tidak lagi bertanya apa-apa. Karena bunyi kaleng  beras yang kosong itu tidak memerlukan perkataan  apa pun, selain dari berusaha untuk mengisinya. Anak mereka yang dua orang, tidak perlu mengetahui bahwa beras untuk dimasak hari ini tidak ada.

Karena itulah Katin menyusur sungai Cimandiri yang berpantai lunak. Di bagian atasnya kelihatan lumpur tipis yang berkilat ditimpa cahaya matahari pagi.

Sepanjang pantai dilemparkannya jala kecil rapat, agar udang-udang sungai  bersangkutan di jala itu. Tetapi harapan nihil. Seolah-olah tak seekor ikan kecil pun yang menyinggung jaring yang dilemparkannya. Keringat bercucuran di celah-celah rambutnya lalu turun ke kening. Beberapa tetes jatuh ke matanya, membuat perih dan air matanya mengalir, tak ubahnya seperti orang baru menangis.
‘’Suamimu tak turun ke laut?’’ Ujar salah seorang perempuan dari seberang sungai.

Teguran itu sama pahitnya bagi seorang supir yang menganggur, karena truk yang dikemudikannya sedang bongkar mesin.

Di pelabuhan ini tak ada orang berkulit terang dan lembut. Mungkin karena angin laut yang membawa uap mengandung garam, membuat orang lebih cepat tua. Seperti Katin sendiri, sebenarnya belum lagi berumur sampai 30 tahun. Tetapi retak-retak pada kulitnya membuat kelembutan  kulit ari yang seperti permukaan daging isi buah kelapa telah hilang.
Katin menjongkok di tepai sungai sambil menyampu matanya yang kena keringat. Dan rasa perih mata  makin menjadi, karena tangannya  membawa pasir ke mata itu ketika ia mengusapnya dengan sudut kain panjang.

Tiba-tiba Katin melihat sesuatu yang menggelepar-gelepar di dalam air. Seolah-olah seeokor makhluk kecil sedang berusaha mengeluarkan kepalanya di atas permukaan air sungai. Besarnya hampir sama dengan seekor ikan lele. Tetapi Katin jadi tersimak. Yang dilihatnya itu tak mungkin ikan. Sebab ada dua pasang kaki kecil yang berkayuh lucu di sisi badannya. Putih sekali seperti putihnya isi kelapa muda yang dikikis panjang dengan sendok. Ada gerigi-gerigi kecil di punggung makhluk aneh itu. Memperkuat dugaan Katin bahwa yang dilihatnya bukanlah ikan biasa.

Kini Katin teringat pada mimpinya semalam, bahwa ia sedang mandi di sungai dan melihat seorang bayi yang masih kecil dapat berenang bebas, menuju ke arahnya. Kini mimpi itu diingatnya kembali,  mungkinkan ini anak dari suatu makhluk yang diberi petunjuk di dalam mimpi itu?

Ragu-ragu, Katin melemparkan kain selendangnya ke permukaan air. Selendang itu turun perlahan-lahan ke permukaan air itu. Anehnya, makhluk kecil putih itu langsung saja menghampar tubuhnya di kain selendang dengan keempat kakinya berhenti bergerak

Kedua ujung selendang itu diangkat Katin dari dalam air. Makhluk kecil itu diam saja. Dengan langkah, Katin bergegas pulang ke rumah. Memperlihatkan kepada sumianya, apakah jenis ikan kecil yang berbentuk aneh itu.

‘’Anak buaya….yang kau bawa Tin?” Terkejut Jurum melihat makhluk kecil yang mendirikan bulu romanya itu. ‘’Di mana kau dapat Tin?’’
“Dia yang berenang-renang di hadapanku, dan mengikut ketika ian selendang kuhamparkan di bawah air sungai.’’

‘’Sebaiknya buang saja kembali, Tin. Kalau besar akan berbahaya sekali kepada kita. Bahkan ia akan menambah jumlah buaya di Cimandiri, sebagai ancaman kepada setiap orang yang berumah di pantai muara!’’

Ketika Jurum mengucapkan kata-kata itu, mata anak buaya itu berkedip-kedip lucu, kemudian terpejam seperti bayi kecil yang tenang-tenang saja setelah disusui oleh ibunya.

Ada  bekas sebuah tapak guci besar yang terletak di hadapan rumah mereka, sebegai penampung iar hujan untuk mencuci muka ketika pagi. Ke dalam pecahan guci itulah disusunkan Katin batu-batu dan pasir. Kemudian diisinya air tawar, untuk tempat anak buaya putih. Keliling tapak guci itu dipagarnya dengan bambu-bambu belah.

Banyak tetangga-tetangga dari seberang sungai sengaja datang melihat anak buaya putih yang lucu itu. Bahkan orang yang baru pulang dari laur menyisihkan waktu untuk singgah di rumah Jurum.

Kebanyakan dari mereka meninggalkan sebagian ikan yang akan dibawa mereka kepada Katin. Karena tak seorang saja yang berbuat demikian, hasilnya hampir sama dengan Jurum bila turun ke laut setiap hari. Ikan-ikan pemberian mereka itu dikeringkan Katin, kemudian dijualnya ke pasar Pelabuhan Ratu.

“Nah Bang, lihat sendiri, karena aku memelihara buaya kecil lucu itu, kita peroleh rezeki dengan jalan yang lain. Siapa menyangka kawan-kawan abang akan rela begitu mengantarkan ikan kemari?’’

Jurum diam, karena ucapan Katin itu benar, tanpa disadarinya. Ternyata mereka dapat juga mengisi perut untuk setiap harinya.

Setelah seminggu lamanya anak buaya kecil itu menjadi tontonan, semuanya merasa bahwa makhluk kecil itu seperti bayi. Lebih lagi, kalau memejam-mejamkan matanya dan menengadahkan kepalanya yang sebesar punggu sendok makan itu ke atas. Semakin hari, warna tubuhnya juga semakin terang. Kalau dulu seperti lilin yang hampir tembus cahaya, kini seperti batu-batu putih yang tidak tembus pandang.

Tiba-tiba, pada suatu pagi Katin memperlihatkan baju bahagian luar yang dipakainya kepada suaminya Jurun. ‘’Mengapa?’’Tanya Jurum.

‘’Baju aku basah oleh air,’’ Jawab Katin, sambil membuka kutangnya yang juga ikut basah.

Kini mereka berdua berpandangan. Belum pernah terjadi demikian. Katin mengeluarkan air susunya. Padahal ia dalam keadaan tidak hamil, atau melahirkan anak.

Beberapa hari yang lalu mereka memberikan isi udang  kecil- kecil kepada anak buaya putih yang dipelihara mereka. Tetapi kini anak buaya itu mogok makan. Katin mencoba menampung air susunya dengan mangkok kecil,  diberikannya ke anak buaya itu. Anak buaya itu menengadahkan kepalanya kepada Katin, kemudian mengangakan mulutnya yang kecil dan lucu karena dia tidak punya bibir untuk menghirup. Perlahan-lahan dituangkannya air susunya sendiri ke makluk itu. Begitulah dilakukan Katin setiap hari. Sedang kedua buah dadanya yang biasanya lisu, kini segar bugar seperti orang sedang mempunyai  bayi.

Tidak begitu saja. Perlahan-lahan kini kulit Katin ikut berubah ujud, semakin muda dan kembali surut  seperti ia ketika belum menikah dengan Jurum. Jurum pun seperti memeluk Katin ketika malam pertama mereka kawin.

‘’Aku heran, bayi kecil makhluk aneh itu seperti mengantarkan kau kembali surut seperti anak gadis,’’ ujar Jurum sambil menggerakkan tangan seperti hendak memulas kedua pucuk dada Katin yang mekar subur.
Katin merangkul suaminya karena pujian itu membanggakannya. Mereka saling berpelukan seperti lintah yang lengket di kulit, sulit untuk dilepaskan.

Tepat malam Jumat Manis,  Jurum bermimpi seperti didatangi oleh seorang  besar tinggi berketopong logam berkilat. Kelihatan tongkat yang ditekankannya ke atas atas amat berat. Kelihatan bekas yang dalam pada setiap kali tongkat itu dipindahkan. Rasanya, orang dahsyat itu seperti turun dari salah satu gunung di Pelabuhan Ratu.

‘’Kau telah merawat cucuku yang nakal…’’ ujar orang itu dengan suara serak. ‘’Kalau tidak, mungkin ia telah dibencanakan oleh mahkluk lain yang lebih besar. Sejak ini kujanjikan, bahwa tidak seorang pun lagi dari mereka yang mendiami pantai Cimandiri ini yang akan diganggu, atau diterkam binatang lain.’’

Seperti awan yang bergumpal-gumpal makhluk besar tinggi bertingkat berat itu raib dari mimpi Jurum, serentak dengan Katin yang tersentak bangun. Tiba-tiba pula hampir serentak dengan itu terdengar bunyi kesibukan di tepi sungai.

‘’Apa? Si Sawir diterkam buaya? Kapan terjadinya?’’ Beberapa orang yang hampir sering perahu mereka akan keluar muara sungai, mempersoalkan keadaan agak di hulu mereka.

‘’Hooi, apa kata kalian?’’ Sorak Jurum yang keluar dari rumahnya.

‘’Si Sawir diterkam buaya. Orang banyak mencarinya kehulu. Sampai sekarang mayatnya belum ditemukan,’’ sahut Ojong yang sering datang mengantarkan ikan kepada Jurum.

Sejenak Jurum terdiam. Ia meneliti mimpinya semalam. Ia mencoba mengingat-ingat, apakah ada faedahnya anak buaya putih itu untuk menghentikan bencana yang menimpa  si Sawir yang dikenalnya sebagai orang berpendidikan santri di Sukabumi.

‘’Tin, apakah yang dapat kita lakukan seperti amanat orang bertongkat berat yang semalam datang? ‘’

‘’Entahlah,’’ jawab Katin, ‘’tetapi apa pun boleh kita coba.’’

Entah bagaimana asal mulanya, maka mereka berunding untuk ikut melihat pencaharian Sawir yang diterkam buaya itu. Seolah-olah telah datang bisik ke dalam relung hati keduanya untuk mengikuti peristiwa bencana itu. Dan yang anehnya lagi,  mereka seolah ingin pula membawa anak buaya putih itu ikut serta dengan mereka di atas perahu. Karena itulah Jurum memanggil Ojong yang sedang berkayuh menuju muara Cimandiri.

Sementara itu, Katin yang montok melemparkan selendangnya ke dalam air di dalam tapak guci. Anak buaya putih itu naik ke dalam, seperti ketika ia ikut Katin di tepi sungai, dahulu.

‘’Kalau begitu, kau memang mau ikut rupanya,’’ bisik Katin. ‘’Apakah yang dapat kau perbuat untuk menolong orang yang sedang malang?’’

Anak buaya itu mengangguk-angguk kecil dan mengerdipkan- ngerdipkan matanya. Seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu, sambil menaik-naikkan telapak tangan kanannya bahagian depan. Katin tersenyum geli memperhatikan tingkah laku makhluk kecil itu. Tetapi tiba-tiba pula wajahnya jadi muram, jika dibayangkannya bahwa pada suatu ketika orang besar berketopang memegang tongkat berat itu akan meminta makhluk yang hampir disayangnya seperti anak sendiri ini. (Besambung/ras)

Leave a Comment