16.5 C
New York
15/10/2025
AktualDaerah

Bilal dari Institut Attaqwa KH. Noer Alie Bekasi Menembus Panggung Dai Muda Nasional

POSSORE.ID, Bekasi — Di sebuah desa kecil bernama Sukamekar, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Bekasi, suara azan kerap bersahutan dengan riuh aktivitas warga yang memulai hari. Dari kampung sederhana itu, lahir seorang pemuda yang kini menapaki jalan dakwah dengan cara berbeda. Namanya M. Bilal Mayada Aslam, mahasiswa semester tiga Program Studi Pendidikan Agama Islam, Institut Attaqwa KH. Noer Alie (IAN) Bekasi.

Bilal bukan nama asing di lingkungannya. Anak pesantren yang tumbuh di Pondok Salafiyah Riyadhul Al-Fiyah, Leuwiliang, Bogor, ia dikenal tekun, tenang, dan gemar membaca. Kini, langkahnya melesat lebih jauh: menjadi salah satu dari 200 dai muda terbaik Indonesia yang lolos dalam Program Pembibitan Calon Dai Muda 2025 bentukan Kementerian Agama Republik Indonesia. Dari ribuan pendaftar di seluruh negeri, hanya segelintir yang terpilih—dan Bilal termasuk di dalamnya.

Program yang digagas Kemenag ini bukan sekadar pelatihan. Ia dirancang sebagai gerakan strategis untuk menyiapkan dai muda berwawasan wasathiyah—Islam moderat yang menyeimbangkan nilai agama dan realitas sosial. Di tengah pusaran ekstremisme dan tantangan global, program ini ingin melahirkan generasi dai yang komunikatif, adaptif, serta dekat dengan denyut kehidupan masyarakat.

Para peserta akan digembleng keterampilan komunikasi publik, strategi dakwah digital, hingga kemampuan membaca konteks sosial. Bukan hanya bicara di mimbar, melainkan juga merespons isu-isu kekinian: dari literasi keagamaan, toleransi, hingga pemberdayaan ekonomi umat.

Tahun ini, tema yang diusung adalah “Membangun Ekonomi Umat”. Artinya, para dai muda didorong bukan hanya menyampaikan ceramah, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi syariah. UMKM halal, koperasi masjid, dan ekosistem bisnis berbasis nilai Islam menjadi bagian penting dari strategi dakwah baru.

Dakwah yang Ramah

Bilal sendiri menyambut kesempatan ini dengan rendah hati. “Kesempatan ini saya pandang sebagai amanah besar,” ujarnya. “Saya ingin menjadi bagian dari dakwah yang mencerahkan, menumbuhkan rasa cinta tanah air, dan membawa Islam yang ramah, bukan marah.”

Bagi Bilal, dakwah tak lagi cukup hanya dengan menyampaikan ayat dan hadis. Generasi muda butuh bahasa yang bisa dipahami, metode yang relevan, dan teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari. “Islam itu hadir untuk menyejukkan, bukan menakut-nakuti,” katanya dalam percakapann dengan POSSORE.ID Kamis (21/8) sore di rumahnya di Kampung Pangkalan.

Kementerian Agama menegaskan, program ini adalah “investasi peradaban”. Tak berlebihan. Di era media sosial, narasi keagamaan mudah menyebar—baik yang membawa kebaikan maupun sebaliknya. Dengan menyiapkan dai muda yang mumpuni, pemerintah berharap Islam yang damai, toleran, dan solutif bisa mengalir hingga ke pelosok, bahkan ke panggung global.

Bagi Bilal, perjalanan baru saja dimulai. Dari lorong pesantren di Bogor hingga panggung nasional di Jakarta, ia kini membawa nama Bekasi, Jawa Barat, ke gelanggang dakwah Indonesia. Sebuah kisah kecil tentang bagaimana semangat lokal bisa menjadi bagian dari gerakan besar membangun Islam yang ramah di tanah air. (aryodewo)

Leave a Comment