BOGOR (Pos Sore) — Bagaimana tren iklim suatu negara dalam satu periode? Untuk mengetahui tren ini tentunya harus membaca data-data mengenai pola iklim puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Karenanya, data-data yang sudah uzur ini harus diselamatkan atau direcovery.
“Caranya dengan melakukan digitalisasi data histories atau didah. BMKG sudah bekerjasama dengan KNMI atau Badan Meteorologi Belanda sejak 2009 untuk program didah ini,” kata Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dr. Andi Eka Sakya, di Bogor, Selasa (20/5).
Ia mengatakan hal itu usai membuka The International Asean SACA & D Conference and Workshop 2014 (IASCW-2014) pada 20-23 Mei di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Regional, Desa Citeko, Puncak, Bogor. Kegiatan ini diikuti para pakar dari 23 negara.
Dari cara itu, Andi mengungkapkan, pihaknya berhasil merecovery data-data iklim masa pemerintahan Belanda pada 1866. Maka, tak terbayangkan jika catatan kecil menyangkut iklim dan cuaca yang usianya ribuan tahun itu akhirnya bisa memberikan pelayanan iklim kepada seluruh dunia.
Proses recovery ini cukup rumit mengingat data-data yang berdasarkan tulisan tangan atau manual itu dicatat dalam lembaran kertas yang bisa jadi sudah dalam keadaan lusuh. “Bisa dimaklumi, dulu tidak ada komputerisasi, hanya dicatat pakai kertas atau manual. Data-data ini lalu dikumpulkan, kemudian dikonversikan ke dalam digitalisasi, dengan discanning. Teknologi ini cukup membantu menyelamatkan data-data itu,” tambah Andi.
Menurutnya, untuk mengetahui dan menganalis tren iklim membutuhkan data dalam waktu panjang, kontinuitas, dan tidak terputus. Setidaknya, dalam periode 30 tahun yang tidak terputus. “Dengan begitu, kita bisa menganalis bagaimana pergeseran musim. Kapan terjadi periode musim hujan yang lebih pendek atau panjang, sehingga dapat mndukung ketahanan pangan nasional,” paparnya.
Direktur Iklim dan Penyelamatan Data World Meteorology Organization (WMO), Peer Hechler, menambahkan, proyek ini dinilai berhasil dan dijadikan pilot project. WMO menilai proyek yang kini berwujud SACA&D (Southeast Asia Climate Assessment and Dataset) ini dapat memberikan manfaat bagi wilayah Asean dalam menangani masalah iklim.
“Negara-negara lain juga jadi ikut menyelamatkan data-data masa lampau seperti yang dlakukan Indonesia, dan ini menjadi tren di dunia,” ungkapnya
Sementara itu, Gerard van der Schrier dari Royal Nederlands Meteorological Institute (KNMI) atau Institut Meteorologi Kerajaan Belanda, mengatakan, SACA&D adalah visualisasi data iklim dan alat analisis yang dikembangkan KNMI dan BMKG. Sistem ini beroperasi berdasarkan synoptical harian dan data iklim. Beberapa negara anggota Asean telah berpartisipasi dan menyuplai data mereka ke sistem ini.
“Ini menjadi semacam mempromosikan kolaborasi dunia untuk memenuhi kebutuhan data iklim, terutama perubahan iklim dan dampaknya. Semua negara membutuhkan data, pengetahuan, dan analisis dari data-data berbagai negara. Karenanya, butuh kerjasama dengan negara lain untuk keberhasilan operasi SACA&D,” katanya. (tety)