05/11/2025
AktualEkonomi

Beras yang Dioplos, Kepercayaan yang Terkikis

JAKARTA, Possore Di balik rak-rak minimarket dan kemasan yang tampak steril, rasa curiga itu mengendap seperti kutikula di permukaan gabah. Bagi sebagian ibu rumah tangga, isu beras oplosan bukan sekadar soal mutu. Ini menyentuh dapur mereka—dan kepercayaan yang mereka titipkan pada label dan harga.

Isu beras oplosan mencuat di tengah gonjang-ganjing harga beras yang belum juga melandai. Di salah grup WhatsApp wartawan yang biasa meliput urusan pangan, perbincangan tentang “beras campuran” itu menjadi tajuk utama. Dari dugaan pengoplosan di pabrik besar, sampai permainan harga di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), semuanya dibicarakan. Namun perlahan, arah obrolan berbelok. Ini bukan lagi soal teknis pencampuran varietas, tapi soal permainan persepsi.

“Ini bukan cuma soal oplosan. Ini permainan,” tulis seorang wartawan senior, menyindir narasi yang berkembang sepihak.

Polemik bermula dari laporan penggerebekan beras “oplosan” bermerek premium yang diduga mencampur beberapa jenis beras—seperti rojolele dan cianjur—ke dalam kemasan satu merk, bahkan disebut-sebut dicampur plastik. Pemerintah pun cepat bereaksi. Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan jajaran Kementerian Perdagangan memperingatkan pelaku usaha dan produsen beras agar tidak “mengoplos” demi keuntungan lebih.

Namun wartawan yang mengendus isu ini lebih dalam, justru melihat ada nuansa berbe. “Beras itu dioplos, iya. Tapi bukan berarti oplosan itu kriminal. Banyak merek yang sejak lama campur varietas untuk hasilkan rasa yang khas,” tulis seorang jurnalis ekonomi harian nasional.

Seorang lainnya menimpali: “Kalau oplosan diartikan sebagai pencampuran beberapa jenis beras untuk mendapat mutu tertentu, itu praktik umum di industri. Tapi kalau diseret ke wilayah kriminal, kita harus curiga. Ada apa ini?”

Seorang anggota grup yang mengaku kerap membeli beras merk Sania dan Laris, dua merek populer di pasar ritel, mengaku kecewa saat membaca pemberitaan. “Kalau benar dioplos, saya gondok, jengkel. Harga mahal, kualitas biasa, malah dicampur,” katanya.

Namun kekhawatiran itu segera dipatahkan oleh rekan lain. “Industri besar itu pakai mesin modern, dari gabah masuk sampai sortir dan pengemasan sudah otomatis. Kalau mau cari oplosan, ya lihat di PIBC, bukan di pabrik besar,” kata wartawan ekonomi berinisial Y.

Pasar IndukBeras Cipinang memang kerap disebut sebagai “pintu belakang” dari distribusi beras nasional. Di sinilah beras dari berbagai penjuru masuk, disortir, dicampur, lalu dikemas ulang oleh pedagang untuk berbagai pasar.

Menurut data PIBC per Juli 2025, stok beras masih cukup tinggi, mencapai 36 ribu ton. Bahkan BULOG mengklaim cadangan nasional berada di atas 4 juta ton, tertinggi dalam 57 tahun terakhir. Tapi tetap saja, harga di pasar tak kunjung turun.

“Stok naik, harga naik. Itu anomali. Dan ketika pemerintah tak bisa jelaskan, muncullah isu oplosan sebagai kambing hitam,” ujar wartawan berinisial S.

Di Antara Bisik-Bisik

Di lapangan, narasi “oplosan” justru dipakai sebagai tekanan terhadap pelaku industri agar segera menurunkan harga. “Ini tekanan politik. Pemerintah tidak mau dibilang gagal jaga harga beras. Jadi, dibuatlah tekanan ke pengusaha agar harga tidak lewat HET,” tulis salah satu jurnalis.

Beberapa wartawan sepakat, bahwa permainan opini ini perlu diwaspadai. Bukan karena wartawan harus netral dalam segala hal, tapi karena wartawan harus cerdas membaca “apa yang sedang terjadi di balik panggung.”

Di akhir diskusi, salah satu wartawan perempuan menulis dengan getir: “Saya tak peduli siapa yang salah. Saya cuma mau tahu, beras yang saya masak buat anak-anak saya ini aman atau tidak?” Satu pesan yang menohok di tengah ribuan ton data, retorika politik, dan strategi dagang. Isu beras oplosan tak semata soal campuran. Ia soal kepercayaan. Dan seperti halnya nasi yang sudah menjadi bubur, rasa percaya yang rusak, sulit diperbaiki hanya dengan klarifikasi.

Seperti diketahui berdasarkan catatan yang ada stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) per Juli 2025: 4,2 juta ton (BULOG), harga beras premium di ritel masih di atas HET (Rp13.900/kg), padahal pemerintah mengklaim stok cukup. Data PIBC: Masih terdapat puluhan ton beras dari berbagai jenis yang belum jelas distribusinya. Sementaraa pencampuran antar varietas dilakukan untuk stabilisasi warna dan tekstur, bukan selalu untuk menipu. (aryodewo)

Leave a Comment