BOGOR (Pos Sore) — Saat ini, banyak koperasi yang tidak menjalankan prinsip koperasi dengan baik. Akibatnya, di tengah jalan banyak yang tiarap ataupun tersangkut masalah hukum. Tidak heran jika kualitas koperasi tidak seimbang dengan kuantitas koperasi yang ada di Indonesia.
“Banyaknya koperasi yang pada akhirnya tidak bertahan dan hanya tinggal nama saja karena sejak awal pendirian koperasi tidak dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi,” kata Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi, Sabtu (9/10/2021), di Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Dalam Pelatihan Manajemen Koperasi bertema Penerapan Nilai Dasar dan Jatidiri Koperasi, Zabadi mengungkapkan, beberapa kasus koperasi yang akhirnya gulung tikar karena pendiriannya dilakukan atas dasar keinginan pengurus untuk mendapatkan bantuan pemerintah.
Padahal, prinsip pendirian koperasi yang benar harusnya didasarkan pada keinginan tumbuh bersama dengan memaksimalkan potensi masing-masing anggota. Koperasi kalau dibentuk hanya untuk mudah mendapatkan bantuan pemerintah itu salah.
“Sebab koperasi harus didasarkan pada kebutuhan sendiri, self help. Semua harus atas kesadaran anggota untuk menghimpun seluruh sumber daya yang ada untuk tumbuh maju bersama,” katanya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah koperasi aktif di Indonesia tahun 2020 lalu sebanyak 127.124 unit. Bila ditambah dengan jumlah koperasi pasif (tidak aktif) angkanya jauh lebih besar. Rata-rata dalam setiap tahunnya, KemenkopUKM membubarkan hampir 81.686 koperasi karena terindikasi tidak aktif.
Dijelaskan Zabadi, koperasi yang pasif juga dipicu oleh sikap ekslusifisme dari pengurus sehingga keanggotaan lebih tertutup. Padahal rata-rata koperasi besar yang ada di Indonesia adalah yang memiliki jumlah anggota besar.
Apabila masuknya anggota baru dibatasi dan dipersulit, maka hampir dapat dipastikan roda perjalanan koperasi tersebut tidak akan sehat bahkan berpotensi besar gulung tikar.
Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) menyatakan siap mendukung koperasi-koperasi di Indonesia untuk tumbuh lebih besar. Ia pun berharap Koperasi Forsema milik Forum Wartawan Koperasi yang “ngepos” di KemenkopUKM dapat membuka diri dengan memasukkan sebanyak mungkin wartawan untuk bisa bergabung dalam koperasinya.
Praktek baik sudah dibuktikan oleh koperasi-koperasi besar seperti Koperasi Benteng Mikro Indonesia (BMI), Koperasi Kospin Jasa, Koperasi Obor Mas dan lainnya. Diketahui jumlah anggota dari masing-masing koperasi tersebut telah mencapai ribuan orang.
“Kekuatan pertama yang mereka himpun adalah rekrutmen anggota. Bayangkan Forsema itu berhimpun dengan ribuan wartawan maka akan kuat dan dengan bisnis yang berkaitan dengan bisnis media,” lanjut Zabadi.
Selanjutnya, kunci sukses sebuah koperasi bisa tetap bertahan dan eksis adalah pengelolaan yang baik dan terbuka. Semua keputusan strategis terkait bisnis yang dijalankan harus didasarkan pada keputusan anggota yang dilakukan melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT). Tanpa RAT yang rutin dilakukan maka menjadi salah satu ciri koperasi tersebut tidak sehat.
“Suka atau tidak suka kalau koperasi mau besar maka pengelolaannya harus berbasis skala ekonomis, transparan dan akuntabel. Ini jadi suatu keniscayaan yang harus dijalankan oleh pengurus,” sambungnya.
Sementara itu, untuk meningkatkan layanan kepada anggotanya, Zabadi berharap agar koperasi-koperasi yang sudah besar dapat melakukan spin off. Untuk koperasi yang masih kecil diharapkan dapat melakukan amalgamasi atau merger agar kekuatan dan sumber daya yang dimiliki bisa disatukan sehingga berpeluang menjadikan koperasi lebih berdaya saing.
“Strategi daya saing koperasi adalah dengan amalgamasi atau merger. Koperasi itu juga harus mampu mencapai skala ekonomi sebab kalau tidak nanti akan ditelan oleh korporasi. Kita dorong untuk mereka untuk spin off khususnya untuk koperasi besar,” pungkas dia.
Pada kesempatan yang sama, Asdep Pengembangan SDM Koperasi, KemenkopUKM, Nasrun Siagian mengungkapkan sejumlah kendala yang membuat koperasi tidak berkembang. Di antaranya masalah SDM kelembagaan, permodalan/pembiayaan, inovasi tekhnologi dan perizinan.
“Rata-rata SDM untuk menjadi pengurus koperasi adalah pilihan terakhir, misalnya gagal jadi PNS, gagal jadi TNI/Polri, eksekutif muda atau yang lainnya,” kata Nasrun.
Tidak hanya itu, ia juga menekankan pentingnya membenahi tata kelola organisasi koperasi, sehingga diharapkan dapat terhindar dari peluang kecurangan. “Anggota juga harus aktif ikut mengawasi koperasi sehingga anggota bisa diberdayakan untuk memajukan koperasi,” pungkas Nasrun. (tety)