-1.1 C
New York
02/12/2024
Aktual Gaya Hidup Travel

Asyiknya Naik Jeep Keliling Borobudur, Lewati Sawah, Susuri Sungai, Singgah ke UKM

Ketika saya berada di kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, saya dan beberapa kawan pemenang blog competition “Sound of Borobudur” diajak kelililing desa di Kecamatan Borobudur.

Mau tahu naik apa? Naik mobil jeep! Seru kan? Oh iya dong seru. Jarang-jarang kan naik jeep. Terakhir itu saat wisata akhir tahun 2020 ke Gunung Bromo, Malang, Jawa Timur.

Jadi, ketika tahu mau naik ini, wow hati sungguh senangnya karena memacu adrenalin. Saya jarang-jarang off road soalnya, meski suami sering mengajak. Kebetulan suami sering off road bersama kawan-kawannya di komunitas Land Rover.

Start dimulai dari Restoran Enam Langit yang berada di perbukitan Menoreh. Mengapa dari sini? Karena kebetulan, sarapannya di sini, sambil menikmati matahari terbit di antara 6 gunung yang berjejer di depan restoran ini.

Baca juga:
Enam Langit, Restoran di Tengah 6 Gunung, Sisi Lain Candi Borobudur

Ada sekitar 5 jeep yang kami tumpangi, yang masing-masing jeep diisi oleh 3 penumpang. Saya kebetulan satu jeep dengan Nurul Mutiara dan Agus Subali. Saya duduk di depan, sementara keduanya duduk di belakang.

Mengapa kami diajak berkeliling desa? Karena, Sound of Borobudur bukan sekedar bicara tentang Candi Borobudur, bukan juga hanya perihal alat-alat musik yang terpahat di relief Candi Borobudur.

Jika ditarik garis lurus, peradaban yang tercipta pada jaman Dinasti Syailendra itu, simpul-simpulnya saling berketerkaitan dengan kearifan lokal masyarakat di sekitarnya.

Ada banyak tempat wisata yang bisa dijelajah, termasuk desa-desa wisata unik. Jadi, dengan berkeliling desa, setidaknya kami bisa lebih menjiwai bagaimana kehidupan masyarakat setempat.

Dengan berkeliling desa pula, kami bisa tahu bahwa keberadaan Candi Borobudur memunculkan aktifitas wisata lainnya. Tentu saja tidak kalah menariknya dan takkalah serunya yang menjadi daya tarik wisata.

Kami menyebut aktifitas wisata ini dengan Explore Borobudur (saya atau kami ya?). Selain mengelilingi kawasan Borobudur, juga mengunjungi destinasi wisata di sekitar sana, dan lokasi produksi UMKM warga sekitar. Seru, kan?

Driver yang membawa kami bernama Mas Prih. Dalam perjalanan saya mengobrol dengannya. Katanya, untuk menyewa jeep ini ada paket-paketnya.

Kalau saya tidak salah dengar, ada paket short trip dengan durasi sekitar 2 jam – 3 jam. Short trip adalah paket yang paling murah, harganya Rp 350.000, namun yang paling populer dicari wisatawan. Begitu, katanya.

Rute yang dilewati wisatawan termasuk jelajah Sungai Sileng dan wisata edukasi ke beberapa tempat.

Ada juga paket Medium Trip dengan harga Rp 450.000 dengan durasi perjalanan 3,5 jam. Selain susur sungai, juga naik bukit untuk melihat sunset.

Selain itu, paket Long Trip dengan durasi perjalanan 4,5 jam dengan harga Rp 550.000. Sedangkan paket Super Long Trip harganya Rp 750.000 dengan durasi perjalanan 6 jam.

Ada lagi? Ya, ada, yaitu paket One Day Trip, dengan durasi perjalanan 8,5 jam dengan harga Rp 900.000.

Harga-harga tersebut sudah termasuk sewa mobil, driver sekaligus guide, pengaman berupa helm, dan tiket parkir.

“Kalau yang kami naiki ini yang paket apa?” tanya saya.

“Kalau yang ini paket short trip, Mbak,” jawabnya.

Kami pun mengitari desa. Saya lupa nama-nama desanya. Saya ingatnya pegunungan Menoreh, Desa Candirejo, Desa Ngargogondo, Desa Borobudur. Apa lagi ya?


Yang jelas melewati beberapa Balkondes (Balai Ekonomi Desa) seperti Balkondes Karangrejo dan Balkondes Wanurejo. Melalui hamparan sawah, perkebunan, dengan pemandangan alam pegunungan sambil melihat aktifitas beberapa petani yang kami temui.

Kata driver, ia sering mengantar wisawatan untuk ikut memetik buah jeruk sendiri, nanti hasil “panennya” bayar ke petani. Atau juga ke kebun lainnya sambil memetik buah-buah yang tertanam di sana. Seru juga ya.

Sebelum menjelajahi Sungai Sileng, kami mampir di Junkyard Auto Park untuk sekedar berfoto. Tempatnya tidak jauh dari Candi Borobudur. Tepatnya di sebelah Balai Balkondes Wanurejo.

Oh iya, sebagaimana namanya Junkyyard ini semacam galeri mobil-mobil lama yang tidak pakai. Kalau saya bilang sih rongsokan mobil. Sampah.

Meski mobil rongsok, tapi jadi menarik karena ditata menarik. Kalau saya perhatikan mobil-mobil “sampah” itu ditata sedemikian rupa.

Ada yang jungkir balik, dipotong, dicat ulang, dihias, ditambah ornamen-ornamen. Mobil rongsokan yang selama ini dianggap tidak ada guna eh jadi terlihat unik dan cantik.

Kalau ambil spot foto di sini pokoknya istagramable deh. Obyek wisata ini berupa taman di tengah persawahan yang berisi belasan mobil atau kendaraan klasik yang sudah tidak terpakai. Katanya sih ini satu-satunya di Magelang.

Setelah berfoto, kami melanjutkan perjalanan menuju Sungai Sileng yang kontur jalanannya sempit dan menanjak melewati rerimbunan bambu dan bebatuan.

Jadi, dengan mobil jeep, kami menyusuri sungai yang berbatuan. Karena naik jeep, maka kami bisa melewati sungai kontur jalan berbatuan yang ukurannya cukup besar, yang pasti tidak akan bisa dilintasi mobil biasa, apalagi sekelas sedan hehehe…


Kata driver, kalau hujan, air sungai meluap yang kadang memunculkan aliran sungai baru sungai dan menenggelamkan aliran sungai lama.

Oh iya, Sungai Sileng ini termasuk danau purba, yang berdasarkan penelitian sudah ada sejak 10 ribu tahun lalu. Wah, lama juga ya. Pantas disebut purba.

Saya mencoba menelusurinya di internet. Dikatakan, W.O.J. Nieuwenkamp (1874- 1950) — seorang penulis, arsitek, pemahat, pelukis dan ethnoloog, saat mengunjungi Candi Borobudur berkesimpulan bahwa Candi Borobudur berdiri di tengah danau.

Pandangannya ini dimuat di majalah “Ned. Indie Oud en Nieuw”, pada 1932. Dalam tulisannya ia mengatakan, candi Borobudur itu sebenarnya adalah bangunan raksasa yang melukiskan bentuk bunga terarai, untuk menghormati Maetreya, tokoh Buddha di masa datang, yang menurut mithologi diceritakan lahir dari bunga teratai, sebuah bunga lambang kesucian dalam agama Buddha.

Bertitik tolak dari pendapat tersebut, ia kemudian menduga, bahwa candi itu dahulu bercat putih, dan dibangun di tengah-tengah danau, sebagai bunga teratai putih yang menyembul di atas permukaan air.

Pembuktian Nieuwenkamp secara topografis dilengkapi pula dengan usaha pembuktian secara toponimi. Yaitu dengan mempelajari nama-nama desa di sekitar Borobudur itu ia berusaha membuktikan bahwa daerah tersebut dahulu adalah danau.(jogja.tribunnews.com, 17 April 2018).

Untuk lebih detilnya bisa baca
di sini. Nah, bertambah lagi kan pengetahuan saya.

Setelah puas menyusuri Sungai Sileng, perjalanan berakhir di tempat kerajinan gerabah Harum Art. Di sini, kami belajar membuat gerabah.

Leave a Comment