POSSORE.ID — Pagi baru saja menyapa kota ketika aroma gudeg mulai menguar dari warung-warung tua di pinggiran Jalan Wijilan. Sementara itu, di tempat lain yang lebih tenang, Gontor perlahan membuka hari dengan suara lantunan ayat suci dan semangkuk pecel bersambal tumpang yang mengepul di meja kayu sederhana.
Dua tempat, dua suasana. Keduanya tak sedang bersaing, karena masing-masing menawarkan perjalanan yang berbeda—baik untuk perut, maupun untuk hati. Membandingkan Jogjakarta dan Gontor dari sisi wisata memang tidak sepenuhnya sebanding. Jogja adalah kota budaya yang ramai, penuh atraksi dan inovasi.
Sedangkan Gontor adalah kawasan yang lebih sunyi, dikenal sebagai pusat pendidikan pesantren yang membumi. Tapi bukan berarti salah satunya lebih unggul dari yang lain. Justru, keduanya bisa menjadi tujuan, tergantung untuk apa kita ingin bepergian.

“Jadi, Mau ke Jogja atau Gontor?”
Jawabannya barangkali bukan soal tempat, tapi niat.
Jogja telah lama dikenal sebagai kota penuh cerita dan selera. Di kota ini, wisatawan bisa mencicipi gudeg hangat di pagi hari, menyesap kopi klotok di utara, lalu menutup malam dengan iga bakar madu yang lembut dan manis.
Salah satu kuliner yang sedang naik daun adalah Iga Gajah—sajian besar daging iga yang disajikan utuh di atas talenan, cocok disantap beramai-ramai. Rasa gurih dan bumbunya yang meresap membuat makanan ini viral di kalangan pelancong. Harga kuliner seperti ini berkisar antara Rp60.000 hingga Rp120.000, tergantung lokasi dan ukuran porsi.
Jogja juga kaya akan pilihan penginapan. Homestay murah di kawasan Prawirotaman atau Sosrowijayan dapat ditemukan dengan tarif Rp100.000–150.000 per malam, sementara hotel berbintang mulai dari Rp300.000 ke atas. Kota ini memberikan ruang bagi setiap kalangan, baik pelancong backpacker hingga keluarga besar.
Lebih dari itu, Jogja menyajikan pengalaman kultural yang padat. Dari candi-candi bersejarah, galeri seni, pementasan wayang, hingga pantai-pantai di Gunungkidul, semuanya berpadu menciptakan kesan yang tak mudah hilang.
Gontor: Kesederhanaan yang Menghanyutkan
Berbeda dengan Jogja, Gontor adalah pilihan untuk mereka yang mencari ketenangan. Terletak di Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Gontor dikenal sebagai pusat pendidikan pesantren yang disiplin dan mandiri. Namun di balik citra tersebut, tersimpan nuansa lokal yang hangat dan penuh rasa.
Kuliner khas Gontor justru ada di warung-warung kecil yang sering didatangi para santri dan warga sekitar. Nasi pecel dengan sambal tumpang, tahu guling, dan camilan seperti onde-onde ketawa dijual dengan harga sangat terjangkau, mulai dari Rp5.000 hingga Rp15.000. Rasanya sederhana, namun menghangatkan.
Tak jauh dari kawasan Gontor, sekitar 40 menit perjalanan, terdapat Danau Ngebel—sebuah danau alami di kaki Gunung Wilis yang menawarkan suasana sejuk dan pemandangan yang menenangkan. Di sini, pengunjung bisa menikmati ikan bakar segar, jagung rebus, dan teh hangat sambil duduk di warung bambu yang menghadap langsung ke danau.
Pilihan penginapan di sekitar Gontor juga cukup ramah di kantong. Banyak warga membuka rumah mereka sebagai homestay dengan tarif mulai dari Rp75.000 hingga Rp150.000 per malam. Fasilitasnya sederhana, namun justru menawarkan keakraban yang jarang ditemui di kota-kota besar.
Alhasil, Jogjakarta dan Gontor adalah dua titik yang tidak perlu diperbandingkan secara langsung. Keduanya menyimpan kekuatan masing-masing. Jogja dengan keramaian, pilihan kuliner yang luas, serta jejak budaya yang kuat. Gontor dengan kesederhanaan, ketenangan, dan keramahan khas desa.
Pergi ke Jogja cocok untuk mereka yang ingin merayakan hidup dalam warna.
Sedangkan ke Gontor, untuk mereka yang ingin berhenti sejenak dan mendengarkan sunyi.
Perjalanan bukan semata tentang tempat, tetapi tentang apa yang sedang kita cari saat memutuskan pergi. Karena dalam setiap langkah, yang terpenting adalah pulang membawa rasa, bukan sekadar oleh-oleh. (aryodewo)