Oleh : Dr. Mulyono D. Prawiro
BULAN depan bangsa Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi dengan gegap gempita. Sebagian besar dari rakyat akan menggunakan haknya untuk memilih calon-calon yang akan mewakili mereka untuk duduk di parlemen untuk masa 2014-2019. Karena banyaknya partai politik yang ikut serta dalam pemilu, hal ini membuat rakyat menjadi bimbang dan tidak sedikit yang merasa kebingunan dalam menentukan pilihannya. Dimasa lalu, partai peserta pemilu hanya 3 saja, sehingga familiar dan rakyat akan lebih mudah menentukan dan menjatuhkan pada pilihannya.
Dengan gencarnya para calon anggota legislatif mempromosikan dirinya, baik melalui media massa maupun dengan memasang gambar/foto dirinya di tempat-tempat yang dianggap strategis, tidak menjadi jaminan bahwa rakyat akan terpikat dengan rayuan gambar dan janji-janji yang diutarakan. Bagi rakyat yang telah memakan asam-garam dan telah berkali-kali mengikuti pemilu, mereka akan berpikir dua atau tiga kali untuk menjatuhkan pilihannya. Karena pengalaman selama ini menunjukkan bahwa parpol-parpol itu hanya sibuk menjelang pemilu, tanpa ada persiapan yang cukup untuk memotivasi para kadernya.Anak muda yang berumur antara 17 – 25 tahun, merupakan sasaran empuk bagi para caleg dan parpol peserta pemilu. Mereka ini dapat dipastikan telah memiliki hak pilih dan komposisinya menyebar di beberapa wilayah. Suara mereka akan menentukan perjalanan bangsa selanjutnya. Selain jumlah yang cukup besar yaitu berkisar 23 juta jiwa, mereka ini relatif mudah untuk dipengaruhi, mudah untuk diyakinkan dan juga mudah marah. Mereka ini kurang mengetahui bahwa para Caleg dan parpol itu bila mendekati mereka hanya pada saat-saat menjelang pelaksaan pemilu atau pendekatannya hanya musiman saja.
Untuk itu bagi anak-anak muda harus hati-hati, karena suaranya akan menentukan nasib bangsa pada lima tahun yang akan datang. Banyak parpol yang membutuhkan anak-anak muda ini, dengan berbagai cara, yang tujuan utamanya adalah mendulang suara sebanyak-banyaknya. Untuk menarik simpati anak-anak muda, cara yang ditempuh parpol sangat beragam. Cukup banyak yang menggunakan artis yang relatif muda dan sedang naik daun untuk dirayu dan dijadikan ikon untuk menarik simpati anak-anak muda. Artis-artis terkenal biasanya memiliki pengikut yang luar biasa banyaknya, apa lagi mereka memiliki penampilan yang anggun dan menjadi pujaan para remaja, khususnya anak-anak muda yang baru gede (ABG). Partai sangat berkepentingan, karena anak-anak muda ini merupakan kader yang potensial dan relatif mudah untuk dijadikan semacam idola baru di tengah-tengah masyarakat.
Isu pemuda selalu muncul pada saat menjelang pemilu legistalif, meskipun parpol sendiri belum atau tidak melakukan pendekatan yang efektif sebelumnya.Karena jumlahnya yang begitu banyak, sehingga keberadaan anak-anak muda ini tidak bisa dianggap enteng. Namun harus hati-hati, karena mereka ini mudah emosi dan mudah terbakar amarahnya serta memiliki sifat galau dan sedang mencari identitas. Kalau diistilahkan, mereka ini dalam masalah politik masih disebut cinta monyet, belum memiliki kepastian dan sering berubah-rubah pendiriannya. Karena sasarannya anak-anak muda, maka parpol akan mengganggap anak-anak muda ini adalah pemilih yang potensial yang perlu didekati dengan berbagai cara yang menyakinkan agar mereka dapat menjatuhkan pilihan pada parpol tertentu.
Namun disisi lain, apabila tidak hati- hati, maka mereka itu begitu menjatuhkan pada pilihannya dan ternyata yang dipilih tidak mampu memenuhi janjinya, tentunya akan berakibat fatal dan anak-anak muda ini akan kecewa serta akan melakukan hal-hal yang kurang terpuji, seperti pengrusakan fasilitas umum dan sebagainya.
Menurut para pengamat politik, akhir-akhir ini terlihat bahwa parpol dan para caleg ini dalam mempengaruhi konstituennya menggunakan pendekatan secara linier atau komunikasi satu arah, yaitu salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan memasang gambar-gambar caleg di tempat-tempat yang dianggap strategis dan banyak dilewati orang untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat luas, bukan dengan cara timbal balik atau komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah bisa dilakukan dengan cara dialog, dengan tujuan mencari solusi untuk kepentingan bersama.
Dalam diskusi beberapa tokoh di Jakarta beberapa waktu yang lalu, muncul gagasan untuk mendekatkan pemilih pemula yaitu anak-anak muda dengan menggunakan konsep Triple C, Pertama, Community Relations, yaitu membangun hubungan baik dengan komunitas. Kedua, Community Empowerment, yaitu memberdayakan masyarakat. Meskipun selama ini terkesan bahwa proses pemberdayaan ini hanya dilakukan pada saat menjelang pemilu, dan jauh-jauh sebelumnya tidak berbuat apa-apa di masyarakat, bahkan kegiatan kemasyarakatan pun juga tidak terlihat apa-apa. Ketiga, Community Service, yaitu pendekatan dengan memberikan pelayan kepada masyarakat. Bila ketiga konsep tersebut dilakukan oleh para caleg dan parpol, maka hal ini akan terlihat bahwa sesuatu itu ada perencanaannya, bukan muncul secara tiba-tiba, dan hasilnya akan lebih efektif.
Selain anak-anak muda, tentunya para caleg dan parpol akan melirik juga kaum perempuan, karena jumlah pendudukan perempuan di Indoensia saat telah melebihi angka di atas 50 persen. Jadi keberadaan kaum perempuan sangatnya penting untuk dijadikan sasaran agar mereka mau untuk ikut serta memihak dan memilih calon yang dianggap mewakili aspirasinya. Yang sangat dikuatirkan adalah apabila muncul rumor politik uang, yang dalam pemilu sebelumnya terdengar adanya kejadian seperti itu. Bila ingin memenangkan pemilihan, dan melakukan hal-hal seperti itu, masih banyak rakyat yang menerima pemberian dari para caleg itu tidak berpikir panjang, karena merasa diperhatikan dan mendapatkan sesuatu, maka mereka dengan mudah dibujuk dan dirayu, sehingga mereka menjatuhkan pada pilihan caleg dan parpol yang memberikan sesuatu tersebut.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan kepada anak-anak muda calon pemimpin bangsa masa depan, hati-hatilah dalam menentukan dan memilih calon, sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Jangan tergoda dengan iming-iming dan janji-janji yang muluk-muluk, tetapi pilihlah sesuai dengan hati nuranimu. Semoga dikemudian hari kita memiliki pemimpin yang mampu dan mau terjun ke lapangan guna memberdayaan masyarakat kita yang kondisinya sampai saat ini masih terpuruk.
Rakyat di desa-desa sudah mulai menunjukkan kegairahannya untuk menghidupkan kemballi budaya gotong-royong dan peduli sesama dan kerjasama mengembangkan Pos-pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya). Kalau para caleg dan parpol sibuk dengan kampanye pemilu, maka anggota dan pengurus Posdaya serta masyarakat luas juga perlu berkampanye menyebarkan proses pemberdayaan keluarga dalam wadah Posdaya yang akhir-akhir ini terus berkembang. Kita bangkit bersama Posdaya. (Penulis adalah Dosen Pascasarjana dan Anggota Senat Universitas Satyagama, Jakarta)