JAKARTA, Possore.com– Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto melihat Rencana Umum Pengusahaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang ditandatangani dan diberi nomor Menteri Eneri Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif memberi ruang cukup luas berkembangnya listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT).
Pada satu sisi upaya ini cukup baik karena menunjang terciptamya energi bersih, di sisi lain pengembangan listrik EBT berpotensi menaikan tarif listrik buat masyatakat.
Sebab itu, Mulyanto meminta Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengendalikan tarif listrik EBT agar tidak membebani masyarakat dengan tarif listrik mahal.
“Saya khawatir dengan tambahan porsi listrik dari sumber EBT mencapai 52 persen dan kontribusi IPP 65 persen, harga listrik kelak dikendalikan listrik mahal dari pembangkit swasta. Ini sangat tidak kita inginkan,” kata Mulyanto kepada Possore.com, Minggu (3/10) siang.
Saat Rapat Panja Listrik Komisi VII dengan Dirjen Gatrik Kementerian ESDM dan Dirut PLN, Rabu lalu terkait updating draft RUPTL 2021-2030 yang sudah terlambat 9 bulan Wakil Ketua Fraknis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan ini juga menyampaikan hal serupa.
Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini
menambahkan, fakta bahwa kontribusi Independent Power Producer (IPP) atau listrik swasta setiap tahun yang semakin dominan.
Sebab itu Pemerintah harus mengendalikan harga listrik dari pembangkit swasta agar tetap di bawah harga Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN. Supaya tarif listrik bagi masyarakat tak naik. Ini dapat dilakukan dengan memilih EBT dengan teknologi terbaik dan mengembangkan kemampuan teknologi nasional yang tidak tergantung pada produk impor.
“PLTS skala besar semakin hari semakin murah. Bahkan sudah kompetitif terhadap PLTU. Jadi Pemerintah harus bisa menjamin harga listrik tetap murah,” kata pemegang gelar Doktor Nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang, 1999 ini.
Dalam Rapat Panja Listrik disampaikan Dirjen Ketenagalistrikan ESDM dan Dirut PLN, RUPTL 2021-2030 sudah disahkan Pemerintah.
Asumsi pertumbuhan demand dalam RUPTL 2021-2030 ini 4.9 persen, lebih rendah dari asumsi demand listrik sebelumnya yaitu 7 persen.
Tambahan kapasitas baru dalam rentang waktu itu adalah 40.575 MW, turun dibanding dari RUPTL 2019-2028 yang 56.395 MW.
Dari tambahan kapasitas baru itu, kontribusi sumber EBT 52 persen. Sumber fosil 48 persen.
Dari sisi kelembagaan, tambahan kapasitas baru itu dikontribusi IPP 65 persen dan sisanya akan dibangun PLN 35 persen. Kontribusi listrik swasta ini meningkat dibandingkan dengan RUPTL 2019-2028, yang hanya 56 persen.
“Ini adalah RUPTL yang paling green sepanjang sejarah ketenagalistrikan di Indonesia. Kontribusi listrik dari sumber EBT lebih besar daripada sumber batubara,” demikian Dr Hulyanto. (decha)