SETELAH lulus dari sebuah SMA di Surabaya, Muhammad Adi mulai merintis masa depannya dengan berkerja secara serabutan mulai sebagai kuli di sebuah toko agen barang pecah belah sampai menjadi karyawan sebuah perusahaan tambang di kalimnatan. Hal ini dia lakukan untuk meringankan beban iorang tuanya dalam membiayai pendidikan adik-adiknya.
Setelah malang melintang di beberapa daerah, Adi memutuskan pulang kampung, namun ternyata tidak membuatnya gembira. Dia malah menjadi gelisah ketika melihat adik-adiknya yang membutuhkan bantuannya. Adi nekat hijrah ke Jakarta. Di ibu kota negara ini, Adi tinggal di kawasan Senayan berkat kebaikan sesama perantau asal Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Untuk menyambung hidup, Adi bekerja serabutan. Pagi hingga siang hari ia menjadi penjual tas keliling dari kantor ke kantor. Malam harinya Adi menjadi juru parkir di Senayan. Meski penghasilannya kecil, Adi berusaha menyisihkannya untuk modal berbisnis. “Modal pertama saya hanya Rp 50.000,” kenang Adi sembari menbambahkan dengan uang itu, Adi kulakan tas di Pasar Pagi untuk dijual kembali. Beruntung, dagangannya selalu habis terjual. “Hasil jualan saya putar lagi.”
setelah menikah pada 1985, Adi mulai berpikir serius menjadi pengusaha tas sendiri. Dengan meminjam mesin jahit temannya dia mulai membuat tas sendiri. Setelah enam bulan berjalan, usahanya mulai menampakkan hasil. Adi pun memberanikan diri menggaji seorang karyawan untuk meningkatkan produksi. Dengan satu karyawan itu, dia mampu menghasilkan 150 tas per tahun seharga Rp 20.000 per tas. Dari harga segitu, Adi mengambil laba Rp 12.000 per tas.
Sejak saat itu, setiap enam bulan sekali Adi menambah seorang karyawan. Untuk pemasaran, Adi memanfaatkan jaringan yang telah ia rintis saat masih berdagang tas keliling.
Pada 1987, Adi mulai menjalin kerja sama dengan panitia penyelenggara rapat atau pelatihan di hotel-hotel. “Pada 1987 saya sudah memiliki tenaga pemasaran 18 orang,” tutur Adi. Omzetnya pun terus melonjak hingga Rp3 juta per hari dengan total produksi mencapai 600 unit per hari.
Kerusuhan pada Mei 1998 merupakan masa yang paling suram bagi usaha Adi. Kerugian yang dialaminya mencapai jutaan rupiah.
Hal itu tidak meyurutkan semangatnya. Berbekal pinjaman bank, Adi mencoba bangkit kembali. Beruntung, pada 1999 bisnis tas kantor kembali naik. Adi pun kembali menggenjot produksi dan mampu mencetak omzet Rp50 juta per bulan.
Kini, dalam sebulan Adi mampu memproduksi lebih dari 1.000 tas dengan omset di atas Rp100 juta. Kliennya tetap dari instansi pemerintah, seperti Departemen Perhubungan dan Kepolisian Republik Indonesia. Selain tas kantor, Adi juga memproduksi jenis tas lain, seperti tas perempuan.
Sudah menjadi kodrat, setiap orang membutuhkan orang lain, pemilik CV Intascus Sport tak segan-segan membagi order ke konveksi lain sebab jumlah pesanan tas memang tak bisa ia tangani sendiri. Untuk pola kerja sama ini, Adi memilih menggunakan sistem bagi hasil yang ia nilai lebih adil. Artinya, keuntungan yang ia peroleh dari penjualan tas akan ia bagi ke pengusaha lain sesuai dengan porsi yang mereka kerjakan. (hasyim husein)