13.7 C
New York
05/11/2024
Aktual Ekonomi

Abdul Sobur, Maestro Kriya yang Terus Mendorong Transformasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia

JAKARTA, PosSore – Abdul Sobur dikenal sebagai salah satu pakar dalam industri mebel dan kerajinan Indonesia. Sejak muda, pria kelahiran Bandung, 10 Desember 1967 ini telah terjun ke dunia kriya. Pada tahun 1995, Sobur mendirikan PT Kriya Nusantara Group / PT Global Kriya Nusantara, perusahaan yang berfokus pada pengembangan produk kriya dengan sentuhan seni dan desain tradisional yang khas.

Master of Art lulusan ITB (Institut Teknologi Bandung) ini telah lama berkecimpung dalam pengembangan kriya, terutama di bidang desain tradisional. Sarjana Seni Jurusan Seni Murni ini mengatakan dalam industri kreatif Indonesia, kriya adalah seni terapan yang mencakup berbagai produk hasil keterampilan tangan.

Kriya ini tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga mengandung budaya dan fungsionalitas. Ia mengklasifikasikan kriya dalam tiga kategori utama yaitu kerajinan (craft), furnitur, dan dekorasi rumah.

Sobur menjelaskan, tiga pilar kriya itu terdiri dari Seni, Tradisi, dan Fungsi. Produk-produk kriya dalam kategori Seni (grafis) dibuat secara manual atau semi-manual, seringkali berakar pada tradisi dan budaya lokal. Contohnya adalah anyaman, ukiran kayu, batik, keramik, logam, hingga perhiasan. Keterampilan tangan yang tinggi menjadikan produk ini istimewa, menggabungkan elemen artistik dan budaya dalam setiap karyanya.

Kriya di bidang furnitur berfokus pada pembuatan perabot rumah tangga dengan nilai seni tinggi. Material yang digunakan biasanya alami, seperti kayu, rotan, atau bambu, dengan desain yang artistik dan tradisional. Keunikan furnitur kriya terletak pada detail dan sentuhan kustomisasi yang khas.

Sementara produk-produk kriya ini digunakan untuk mempercantik interior rumah, mencakup lampu, cermin, patung, hingga hiasan dinding. Dekorasi rumah menggabungkan fungsi dan estetika, serta menonjolkan nilai artistik dan budaya lokal.

Industri Kriya di Era Digital

Sobur menilai bahwa industri kriya di Indonesia saat ini telah mengalami perubahan signifikan, terutama dengan adanya digitalisasi dan adopsi teknologi baru. Teknologi seperti CNC router, yang mempercepat proses kerja dengan akurasi tinggi, membantu perajin kriya memperluas jangkauan pasar mereka secara nasional maupun internasional melalui platform e-commerce.

“Dulu, distribusi produk kriya bergantung pada distribusi fisik. Namun sekarang, produk bisa dipasarkan secara global lewat toko online, media sosial, dan pameran virtual,” kata Abdul Sobur dalam percakapan dengan PosSore di Jakarta, Selasa (22/10). Meski demikian, ia menekankan bahwa sentuhan personal, nilai seni, dan budaya yang melekat pada produk kriya membuat pengalaman fisik tetap relevan.

Sejauh ini pameran fisik, seperti Indonesia Furniture Expo (IFEX), masih memainkan peran penting dalam industri kriya. IFEX sendiri menjadi salah satu pameran terbaik di Asia, meskipun di tingkat global ada penurunan minat terhadap pameran fisik. Beberapa pameran besar bahkan tutup, seperti IFFS di Singapura dan IMM Koln di Eropa.

Namun, Sobur mencatat adanya tren peningkatan pameran hibrida yang menggabungkan elemen fisik dan digital. Meskipun transaksi pameran fisik cenderung stabil, nilai transaksi online yang terkait dengan event tersebut justru meningkat.

Sebagai Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Sobur mendorong kolaborasi dengan platform e-commerce melalui pelatihan dan pendampingan bagi perajin tradisional. HIMKI bekerja sama dengan marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Alibaba, dan Etsy untuk memperluas akses pasar kriya Indonesia.

“Kami membantu perajin mengoptimalkan teknologi, mulai dari pemasaran digital hingga pengelolaan logistik dan pembayaran online. Kami juga mengadakan workshop tentang pengemasan, branding, dan manajemen inventaris agar produk kriya lebih kompetitif di pasar digital,” tutur Sobur.

Namun, ia mengakui bahwa tantangan dalam beralih ke e-commerce tidaklah mudah. Beberapa kendala yang dihadapi perajin antara lain keterbatasan infrastruktur digital di wilayah penghasil kriya, minimnya pemahaman teknologi, serta isu logistik dalam pengiriman barang.

HIMKI katanya telah merancang sejumlah strategi untuk mengatasi tantangan tersebut, termasuk pelatihan intensif, peningkatan akses internet, dan kemitraan dengan platform e-commerce serta perusahaan logistik.

Sobur optimis bahwa masa depan industri kriya akan mengarah pada integrasi antara pameran fisik dan e-commerce. “Pameran fisik tetap penting karena konsumen perlu merasakan langsung produk kriya, seperti melihat detail artistik dan merasakan kualitas material. Namun, e-commerce akan menjadi saluran distribusi utama yang melengkapi pengalaman pameran fisik,” jelasnya.

Pengunjung pameran dapat langsung membeli produk secara online melalui QR code atau link ke marketplace. Model ini menciptakan ekosistem penjualan yang lebih dinamis, di mana perajin dapat memanfaatkan umpan balik dari pengunjung pameran sekaligus mengukur performa penjualan digital mereka.

Dengan langkah-langkah inovatif ini, Abdul Sobur terus berperan aktif dalam memajukan industri kriya Indonesia, memperkuat posisinya di pasar global melalui sinergi antara tradisi dan teknologi. (aryo)

Leave a Comment