Oleh Mpu Wesi Geni
KALAU Anda mengambil jalan untuk pergi ketepi ke pantai selatan melalui Prambanan, Bokoharjo, Watu Gudik, langsung ke Jolosutro, ke makam Sunan Geseng, melewati pegunungan Anda akan melihat segoro pantai selatan yang tidak ada tepinya. Sejenak Anda berhenti di ketinggian, menduga-duga keajaiban apakah yang terpendam dalam lautan yang luas itu. Luas kukatakan, karena bila seseorang terdampar di tengahnya, serasa berada di dunia lain yang asing dan jauh dari pertolongan manusia.
—–
AKU mendengar dari Hartono, bahwa dari lautan yang luas itulah banyak orang yang menginginkan sebentuk benda berdigdaya amat besar. ‘’Bagaimana Mas, apa kita dapat melihat ada orang yang mau berburu makhluk itu?’’ Tanyaku dalam perjalanan, ketika telah sampai di dataran tinggi Pegunungan Kidul.
‘’Ada saja asal kita benar-benar memerlukannya, dan yang terpenting kita lulus dari rabaan hati penduduk tepi pantai.’’
‘’Aku krang mengerti Mas,’’ jawabku.
Lama baru Hartono hendak menjawab. Bukan karena ia malas. Tetapi mungkin untuk mengutarakan jawaban dalam kalimat yang pendek itulah yang sulit. ‘’Kalau mereka telah menduga, maksud kita memang tidak ada ber-udang di balik batu, mereka akan bersifat terbuka. Dan mau mengirinmkan perburuan yang akan dilakukan,’’ jawab Hartono.
Kata Hartono selanjutnya, ketika ada kesibukan perubahan situasi, maka banyak orang mencari apa yang kami cari kini. Aku menyediakan sedikitnya biaya dalam waktu 15 hari perjalanan. Sungguhg pun sebagian dari perjalanan itu mungkin habis di atas laut kidul selatan, arah ke barat Parang Tritis.
Kulit kami jadi memerah dihembus angin pegunungan, yang memendam tajamnya cahaya matahari, sehingga tak terasa pedih di badan.nDua hari kami bermalam di tepi pantai. Tentu saja di salah satu gubuk nelayan, bernama Sugimin.
‘’Biasanya, pada bulan-bulan seperti ini dia ada.’’
‘’Kalau begitu kedatangan kami agak tepat Kang,’’ kata Hartono, sambil menggulung rokoknya dengan kertas special.
Kami membawa perlengkapan beras, kopi, dan bahan lain seperti tepung gandum. Karena kami tidak kembali ke tempat kami bertolak, jika bermaksud mencari makhluk pembawa benda yang kucari ini.
Ada rundingan Hartono dengan Sugimin, tapi pura-pura tidak kuperhatikan. Tentu saja tentang bagaimana penghasilan Sugimin bila ia mempergunakan perahunya untuk keperluan kami. Nampaknya hal itu menemukan jalan keluar. Hartono meminta kepadaku sejumlah uang, untuk keperluan Sugimin yang tinggal selama kepergian kami.
‘’Apakah seluruh nelayan pesisir Parang Tritis ini pernah melihat binatang aneh itu?’’ Tanyaku kepada Hartono.
Mas Hartono mengatakan, lebih baik jangan disebut sebagai binatang, tetapi abdi Ratu Pantai. Kalau demikian, memang ada hubungannya yang erat. Tidak boleh berlancang mulut sebagai pantangannya.
Yang sangat menguntungkan hubungan ini, Hartono dulunya pernah mengajar sebagfai guru di dataran tinggi Kidul ini. Oleh karena itu mudah untuk membuka hati orang seperti Sugimin, yang perahu dan dirinya sendiri ikut ikut bersama kami bertualang di laut Parang Tritis.
‘’Apakah kami tak perlu berhati-hati bila kebtulan ia muncul?’’ Ujarku, agak gugup, di saat perahu itu teroleng-oleng oleh buaian ombak yang baru saja ujungnya menepuk curam di samping kanan kami. Tiada kawan selain laut dan langit dalam perjalanan seperti ini. Kecuali bila malam, berganti dengan peredaran bintang-bintang yang tidak sanggup membelah gelapnya malam.
‘’Kang kenal di mana daerahnya selalu muncul?’’ Tanya Hartono kepada Sugimin. Yang ditanya menunjuk ketengah laut yang agak hijau.
‘’Di bawahnya banyak batu karang yang mengagumkan, tapi juga berbahaya karena banyak ditumbuhi lumut laut yang tebal sekali di bagian atasnya.’’
‘’Apakah dia tidak tersangkut dengan benda-benda seperti itu,’’ ulasku, seperti melengkapi, apakah tempat itu memang tepat.
‘’Tubuhnya licin, mengandung gajih yang tebal,’’ tukas Sugimin.
‘’Gajih?’’ Selaku, ketika perut perahu terbuai di atas punggung alun.
Sugimin menerangkan bahwa tubuh makhluk yang kami cari ini diselimuti gajih tebal, berbentuk agar-agar. Sekiranya ada yang menyentuh tubuhnya, gajih itulah yang terlebih dulu tertinggal, atau tanggal. Sedang badannya tetap lewat seperti belut yang licin.
Berat binatang itu mencapai tiga dan empat kwintal. Bentuknya bulat, berdiamater lebih kurang dua meter lebih. Dengan tebal tubuhnya terletak pada bahagian tengah bulatan bentuknya.
Menurut cerita Sugimin, berburu binatang gaib seperti orang mengadakan perburuan aneh. Oleh sebab itu, kami juga membawa dua tumpuk pasir yang kami ratakan di lekuk perahu yang kami tumpangi. Dengan pasir itu biasanya alat sebagai pemburu pertama, dan mengurangkan keaktifan makhluk yanmg kami buru ini.
‘’Kalau ada rezeki, dan cocok orangnya, mungkin salah satu akan berjumpa dengan keberangkatan kita yang khusus ini,’’ ucap Sugimin, sambil memegang tali layar di buritan perahu. Ia lebih tinggi duduknya dari kami, sambil melayangkan mata ke laut biru yang terukur tepinya ini.
Dua hari telah berlalu, kami hampir mencapai Parang Tritis. Guha Langse, batas yang tidak tertulis, tetapi batas yang dibuat oleh pelaut dan nelayan sendiri. Kulit tubuh semakin merah. Hanya air laut asin sesekali dapat aku usapkan untuk menghilangkan pedihnya sengatan mata hari. Tetapi air asin menimbulkan kulit ari yang gemerisik pada badanku. Pasti setelah perjalanan ini nantinya, kulit ari pada pundakku akan mengelupas, berikut kulit ari bahagian kening dan punggung pergelangan tangan.
Ada beberapa pulau karang pada bahagian muara sungai yang menuju laut selatan. Ada yang muncul di atas air, ada pula yang baru kelihatan ketika lekuk gelombang turun.
‘’Lihat, lihat, itu dia,’’ ujar Sugimin, kemudian menyuruh Hartono memasang rokok lisong, dan menebarkan sebutir kepingan kemenyan di atas api rokok itu. Perahu telah berbelok kea rah yang ditunjuk Sugimin. Semula kusangka, sejenis seekor ikan hiu yang badannya kelihatan sebagian di atas air.
Kalau sirip ikan hiu, tentu mirip seperdua bentuk kampak lebar. Tetapi yang kulihat adalah seperti bentuk ujung belalai gajah yang keluar di permukaan air. Membungkuk ke depan arahnya, seolah tertarik-tarik, seperti bersiap-siap untuk mencolokkan ujung belalai itu kea pa-apa saja yang berada di depannya.
Tampak olehku seperti gerak suatu ancaman. Tentu di bahagian bawah air laut, tubuhnya yang seperti bulatan lebar itu melayang, dengan berat tiga atau empat kwintal.
‘’Biasanya ia tidak pernah di tempat ini,’’ bisik Sugimin.
‘’Mungkin juga ditakdirkan untuk kita,’’ jawab Hartono. Sejenak kelihatan ujung belalai itu agak merendah, sehingga hanya kira-kira sejengkal saja kelihatan di atas air.
Tiba-tiba ia datang menyongsong perahu kami. Antene besar belalai itu seperti antenna kapal selam di bawah air.
‘’Biarkan…ia lewat di samping perahu,’’ ujar Sugimin, ‘’kalau ia agak timbul, siramkan pasir ini kepunggungnya. Pasir ini akan melengket ke gajih agar-agar kulitnya, dan tidak secepat biasa lagi ia akan bergerak.’’
‘’Apa ia tak lari ke bawah?’’Tukas Hartono.
‘’Anehnya, ia tak menyukai menyelam ke bawah permukaan. Mungkin karena takut badannya tersentuh sesuatu yang dapat memberatkan tubuhnya.’’
Antene besar itu lewat di samping perahu kami. Bergeser sedikit pada bahagian tengah perahu yang mencuat keluar. Kelihatan olehku, dalam saat yang demikian cepat, tangkai antene itu memang seperti belalai gajah yang dilumuri cairan kental, seperti agar-agar jernih. Seperti enceran yang dipanasi.
‘’Lewat dia kang Gimin,’’ desis Hartono kecewa sekali menghadapi gerak binatang itu di bahaw air. Dari atas tadi kelihatan olehku, suatu bayangan suram. Bundar melalui lunas bawah perahu, kira-kira sedepa di bawah permukaan air laut yang beralun.
‘’Dia akan kembali…biasanya ia berlaku demikian,’’ balas Sugimin, ‘’karena mudah tertarik pada sesuatu di atas air. Mungkin disangkanya kita ikan merapung. Hati-hati saja. Sebab ia akan merabakan ujung ekornya, untuk mengetahui benda padat atau makhluk yang sedang disentuhnya.
‘’Kalau ia melukai bagaimana?’’ Ujarku.
‘’Ada tangkalnya, tapi jika tak terjadi tak akan kusebutkan lebih dulu,’’ jawab Sugimin.
Hartono memandang kepadaku, seperti membenarkan apa yang dikatakan Sugimin.mMemang antene besar itui kembali berputar ke arah kami. Sehingga Sugimin terpaksa memutar duduknya, dan berkata cepat: ‘’Nah…siramkan, siramkan cepat!’’ Serentak dengan itu aku dan Hartono menyiramkan masing-masing seperempat kaleng pasir ke bawah air. Karena di pertengahan lunas perahu antene besar itu terulur ke atas, bagaikan meraba-raba sesuatu, laksana kumis belakang.
Beberapa kali antene itu hilang timbul, tetapi kami kejar terus. N yhata benar kelincahannya telah hilang. Aku akan turun kelaut, tapi dilarang Sugimin. Katanya, bila dapat sekalipun memegangnya, tidak akan dapat tercekal dalam genggaman, karena licin dan gajihnya berupa agar-agar agak gatal. Keadaan kami di atas perahu seperti orang sibuk membayangi sesuatu di dalam air laut. Sugimin telah bersedia dengan jarringkhusus terbuat dari anyaman benang tali ijuk hitam.
‘’Nah…nah ini dia , di bawah.’’ Serentak dengan ucapan itu, Sugimin melemparkan jarring kasar dengan pemberat timah ke atas muka air. Beberapa kali perahu kami terseret mendatar. Yang menguntungkan dan mengherankan pula, mengapa ia tak mau menyelam jauh ke bawah. Seolah-olah seperti kelelawar yang terbang tak mau menyentuh tanah. Karena bila menyentuh tanah, tenaganya akan hilang. Tak berepa lama, kelelawar yang menyentuh tanah demikian akan mati kering dengan sendirinya. (Ikut terus kisah selanjutnya/ras)