JAKARTA (Pos Sore) – Sejauh ini masyarakat menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan Abraham Samad (AS) berhasil memberantas dan menangkap sejumlah tersangka koruptor dengan nilai korupsi yang sangat ‘wah’, hingga triliunan rupiah.
Namun di balik skema penangkapan para koruptor, masyarakat umumnya tidak mengetahui lembaga antirasuah itu juga sukses melanggar dan kerap tidak mematuhi berbagai tata cara dalam aturan hukum guna menjadikan terduga koruptor menjadi status tersangka korupsi.
Sejumlah pelanggaran hukum dan tidak mematuhi etika aturan, yang telah dilakukan para pimpinan KPK di era kepemimpinan Abraham Samad tersebut terungkap saat Hendy F Kurniawan, SIK, SH, MH mantan Penyidik di KPK yang bertugas pada periode 2008 – Januari 2015, mengatakan, KPK kerap menetapkan seorang tersangka tanpa kecukupan alat bukti, mengacuhkan mekanisme gelar perkara, menutup diri saat hukum berproses, mengutamakan asumsi dan khususnya Abraham Samad kerap bersikap arogan terhadap penyidik internal KPK, yaitu penyidik dari lingkup Polri maupun penyidik yang mewakili pihak Kejaksaan Agung.
“Saya tidak bertujuan membela institusi Polri atau ingin menjatuhkan wibawa KPK yang telah dibentuk oleh pimpinan KPK sebelumnya. Namun apa yang saya sampaikan ini adalah untuk menjelaskan kembali penegakan hukum dan proses menjalankan Undang-undang itu harus lebih tinggi di atas apapun,” Hendy Kurniawan, Sabtu (14/2) usai wisuda pasca sarjana ilmu hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam, di Hotel Millenium.
Ia menandaskan, korupsi memang harus diberantas, namun menjadikan seorang tersangka koruptor tanpa adanya kelengkapan alat bukti dan saksi serta mengabaikan mekanisme gelar perkara tentu sesuatu yang tidak adil. Ini menyangkut hak asasi manusia.
“Karenanya kekisruhan yang terjadi saat ini dan yang telah berlalu itu dikarenakan adanya kesalahan mekanisme hukum yang telah dilakukan oleh KPK khususnya,” tandasnya.
Hendy menambahkan, kekisruhan terkait ditundanya status Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri oleh Presiden Jokowi merupakan puncak dari sejumlah kesalahan yang telah dilakukan KPK di era kepemimpinan Abraham.
Hal yang sama, yaitu pelanggaran mekanisme hukum oleh KPK telah terjadi saat menetapkan Miranda S Goeltom (mantan Deputi Bank Indonesia) sebagai tersangka dalam kasus pemberian cek kepada sejumlah anggota DPR pun terhadap Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat) terkait kasus Hambalang.
Kedua tersangka yang telah ditahan itu, dinilainya banyak terjadi kejanggalan dalam mekanismenya. Contohnya pada Miranda. KPK memang telah melakukan gelar perkara oleh jaksa, oleh penyidik dari polri dan kejaksaan. Diulas secara teori dan dituangkan pada notulen yang intinya, terhadap Miranda belum ditemukan dua alat bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka. Namun, Miranda dan Anas diumumkan sebagai tersangka melalui media.
“Padahal sejumlah pasal yang dikenakan itu hanyalah merupakan konsep atau asumsi dan diketik oleh penyidik junior. Jadi itu berupa draft, tidak melalui mekanisme gelar perkara,” ungkap Hendy menjelaskan.
Hendy yang kini kembali bertugas di unit Tipikor Bareskrim Mabes Polri itu pun mengingatkan agar ke depan pihak KPK harus mengutamakan prinsip kehati-hatian. Pasalnya menurut salah satu perwira menengah ini, UU KPK tidak memiliki kewenangan guna menghentikan perkara yang telah berlangsung.
Ia mengingatkan ke depan KPK harus hati-hati dalam menetapkan seorang sebagai tersangka. Karena di dalam UU KPK pada Pasal 40, disebutkan tidak ada lagi kewenangan menghentikan perkara jika status naik menjadi tersangka.
“Saya sudah mengingatkan berkali-kali, namun sikap arogan diperlihatkan seorang Abraham Samad. Karenanya, saya bersama sejumlah penyidik lain akhirnya sepakat mengundurkan diri pada 27 Januari lalu,” jelas Hendy menutup pembicaraan. (tety)
