POSSORE.ID, Denpasar — Di sebuah pagi yang teduh di Denpasar, rombongan Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU Pangan Komisi IV DPR RI melangkah memasuki halaman Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Bali. Angin laut membawa aroma lembut rumput basah, seakan ikut menyambut kedatangan mereka. Di tengah rombongan itu, Direktur Utama Perum BULOG, Letjen TNI (Purn) Ahmad Rizal Ramdhani, tampak berjalan dengan tenang—seorang pemimpin yang memahami bahwa urusan pangan bukan sekadar angka dan regulasi, melainkan jantung dari keberlangsungan hidup banyak keluarga Indonesia.
Kunjungan pada 21 November itu bukan sekadar agenda formal. Ia menjadi ruang penting untuk membahas kembali arah besar kebijakan pangan nasional, khususnya di tengah penyusunan RUU Pangan yang digarap Panja Komisi IV DPR RI di bawah kepemimpinan Siti Hediati (Titiek) Soeharto. Kementerian, lembaga, BUMN pangan, pemerintah daerah, petani, hingga pelaku usaha penggilingan turut duduk satu forum—sebuah percakapan lintas suara yang jarang sekali terjadi dengan sedalam itu.
Dalam diskusi yang berlangsung hangat, Rizal—begitu ia akrab dipanggil—menyampaikan pandangan strategis BULOG. Ia berbicara tentang tantangan besar yang terus mengetuk pintu: perubahan iklim yang tak menentu, geopolitik yang mengguncang rantai pasok, hingga harga pangan global yang bergerak liar. Di tengah ketidakpastian itu, satu hal menurutnya tak boleh goyah: negara harus hadir dengan instrumen yang kuat. Dan di sinilah BULOG mengambil peran.
“Ketahanan pangan membutuhkan instrumen negara yang bekerja konsisten. BULOG menjalankan mandat tersebut melalui pengelolaan stok, distribusi, dan stabilisasi harga agar pasokan tetap terjaga di seluruh daerah,” ujarnya dalam forum tersebut, tenang namun tegas.
Fokus pembicaraan kemudian bergeser pada hal yang selama ini sering terlupakan: keberagaman pangan Indonesia. Rizal menegaskan bahwa bangsa ini tidak hanya hidup dari beras. Jagung, ubi, singkong, sagu, hingga berbagai pangan lokal lain telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari pola konsumsi masyarakat di berbagai daerah. Karena itu, BULOG tengah menata ulang strategi besar: mengembangkan gudang berbasis klaster komoditas, memperluas penyimpanan untuk pangan non-beras, sekaligus menjajaki kolaborasi internasional.
Salah satu rencana yang menarik perhatian adalah kerja sama dengan perusahaan Jepang untuk pengembangan tepung beras sebagai alternatif yang lebih sehat dibanding tepung terigu. Rencana pembangunan pabrik tepung beras di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi menjadi langkah konkret yang menunjukkan keseriusan BULOG menjawab perubahan kebutuhan pangan ke depan.
Namun hari itu bukan hanya tentang diskusi kebijakan. Ada momen yang lebih membumi, lebih dekat dengan denyut nadi masyarakat. Komisi IV DPR RI bersama BULOG menyerahkan Bantuan Pangan (Banpang) bagi warga Desa Pedungan, Denpasar Selatan—berupa 20 kilogram beras dan 4 liter minyak goreng untuk alokasi Oktober–November. Warga yang hadir menerima bantuan dengan senyum lega, menyadari bahwa perhatian negara masih menyapa hingga ke dapur-dapur mereka.
Di luar agenda formal, BULOG juga memberikan paket sembako kepada 30 petani sekitar: beras, gula, dan minyak goreng sebagai bentuk dukungan nyata kepada para penjaga pangan negeri. Sekecil apa pun, bantuan itu menjadi penegasan bahwa ketahanan pangan tidak akan pernah kuat tanpa kesejahteraan petani di akar rumput.
Menjelang sore, kunjungan kerja Panja Komisi IV pun ditutup dengan penyusunan catatan awal—sebuah pondasi awal menuju pembahasan lanjutan RUU Pangan di Jakarta. Di balik semua agenda itu, satu kesimpulan terasa kuat mengalir seperti semilir angin Bali: BULOG siap berdiri di barisan depan, memainkan peran penuh dalam menjaga produksi, distribusi, dan konsumsi pangan Indonesia agar tetap berkelanjutan.
Dan hari itu, di pulau yang dikenal dengan kedamaian dan keseimbangannya, komitmen itu terasa semakin nyata. (aryodewo)
