15.7 C
New York
12/10/2025
AktualEkonomi

Belanja Online, Ketika Hak Konsumen Hanya Jadi Formalitas

POSSORE.ID, Jakarta — “Klik, bayar, tunggu kurir datang.” Begitulah belanja online memikat jutaan orang Indonesia. Semua serba mudah, praktis, dan cepat. Namun di balik kenyamanan itu, tak jarang konsumen justru dihadapkan pada pengalaman yang meninggalkan kecewa.

Hal ini dialami Maghfur, seorang pelanggan Shopee. Pada 27 September 2025 pukul 16.08, ia memesan sebuah meja lipat portable dengan nomor pesanan 250927K9Q4KJCB. Pesanan tiba di rumah pada Kamis, 2 Oktober 2025. Namun kegembiraan itu seketika sirna ketika paket dibuka.

Di salah satu pojok meja tampak bagian yang hampir patah akibat benturan. Beberapa sisi lain juga terlihat lecet, tanda barang tak sampai dalam kondisi sempurna. “Padahal saya berharap meja itu bisa langsung dipakai untuk keperluan rumah,” ujarnya.

Sebagai konsumen, langkah pertama tentu adalah mengajukan komplain. Fitur pengembalian barang di Shopee pun segera ia pilih. Namun, masalah kembali muncul. Video unboxing yang disiapkan tak bisa terkirim melalui sistem aplikasi. Foto-foto kerusakan akhirnya dilampirkan, dan komplain diterima sistem Shopee. Dari layar ponsel, muncul notifikasi: “Komplain sedang diproses. Tunggu sampai tanggal 3 Oktober.”

Hari pun berganti. Namun hingga kini, status pengembalian barang tak jelas arah. Opsi yang tersedia hanyalah “pengembalian barang”, tanpa ada kemungkinan penukaran produk baru. Lebih parah, setelah notifikasi awal, tak ada lagi tindak lanjut yang nyata.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah konsumen di platform besar seperti Shopee benar-benar mendapat perlindungan setara? Atau hak itu hanya sebatas formalitas di layar aplikasi?

Shopee, sebagai salah satu perusahaan perdagangan online terbesar di Indonesia, tentu memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan hak-hak konsumen terjaga. Respons yang cepat, mekanisme yang jelas, serta komunikasi yang transparan seharusnya menjadi standar utama. Sayangnya, pengalaman seperti yang dialami Maghfur menunjukkan masih adanya celah besar dalam sistem layanan pelanggan.

Lebih jauh, persoalan ini tidak hanya menyangkut satu orang pembeli. Ia menyangkut jutaan konsumen lain di berbagai pelosok negeri yang bergantung pada belanja online. Jika mekanisme pengembalian barang masih berbelit, jika hak konsumen masih “digantung”, maka rasa aman berbelanja yang menjadi daya tarik utama marketplace bisa luntur perlahan.

Konsumen memang selalu diingatkan untuk berhati-hati saat belanja online: cek rating, lihat ulasan, pastikan reputasi toko. Tetapi bagaimana dengan tanggung jawab platform? Bukankah mereka yang mengatur “ruang pasar digital” ini juga punya kewajiban memastikan barang sampai sesuai pesanan, dan bila tidak, ada mekanisme pemulihan yang jelas?

Maghfur hanya satu contoh kecil. Tetapi dari cerita sederhana ini, ada suara yang ingin disampaikan: hak konsumen bukanlah pilihan, melainkan keharusan.

Di era digital yang serba cepat, jangan sampai kepercayaan publik justru hancur karena hal mendasar seperti ini. Marketplace sebesar Shopee seharusnya tampil lebih responsif, bukan membiarkan kasus menggantung seolah selesai dengan sendirinya.

Karena pada akhirnya, belanja online bukan hanya soal kemudahan klik, bayar, dan kirim. Ia juga tentang rasa aman, keadilan, dan penghargaan pada hak konsumen. (aryodewo)

Leave a Comment