27/10/2025
AktualEkonomi

Industri Mebel Indonesia: Terjebak Mentalitas Murah, Saatnya Berubah

POSSORE.ID, Semarang — Di sebuah ruang makan sederhana di pinggiran Semarang, sore itu udara hangat bercampur aroma kayu dari meja dan kursi yang tertata rapi. Dari sanalah Abdul Sobur, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), melontarkan pertanyaan yang menohok: “Mengapa dengan kekayaan budaya dan sumber daya yang kita punya, industri mebel Indonesia masih tertinggal jauh dari Vietnam?”

Pertanyaan itu bukan sekadar retorika. Data berbicara lantang. Tahun 2024, nilai ekspor mebel Indonesia memang tembus US$3,5 miliar. Namun angka itu tampak kecil jika dibandingkan dengan Vietnam yang meroket hingga di atas US$17 miliar. Negeri jiran itu kini menjadi salah satu poros mebel dunia, sementara Indonesia masih terpaku di urutan menengah, meski Jepara, Bali, Cirebon, dan banyak daerah lain punya warisan kriya yang sudah mendunia sejak ratusan tahun lalu.

Sobur menyampaikannya usai acara Gathering dan Seminar DPD HIMKI Semarang Raya bertema “Meraih Peluang di Tengah Tantangan” yang digelar Kamis, 21 Agustus 2025. Bukan hanya regulasi dan tarif logistik yang jadi ganjalan, kata dia, melainkan ada sesuatu yang lebih mendasar: mentalitas industri itu sendiri.

Banyak pelaku usaha, menurut Sobur, masih terjebak dalam pola pikir “meniru, bukan mencipta”. Produk mebel dari Indonesia kerap lahir dari katalog buyer atau menyalin kompetitor lokal. Akibatnya, kursi, meja, atau lemari yang diproduksi kehilangan identitas. Di mata pembeli internasional, Indonesia hanya menjadi “pabrik murah”, bukan pusat desain dan kreativitas.

Masalah lain yang tak kalah pelik adalah perang harga. Saling banting harga antarprodusen hanya memberi keuntungan semu. Industri bertahan dengan margin tipis, upah pekerja tetap rendah, dan peluang investasi jangka panjang terabaikan. “Kita sendiri yang membuka ruang bagi buyer menekan harga,” kata Sobur.

Lalu ada obsesi pada kuantitas. Ukuran keberhasilan masih sering dihitung dari berapa kontainer keluar dari pelabuhan, bukan seberapa besar nilai tambah yang diciptakan. Kursi jati Jepara, misalnya, dijual US$100 di tanah air, namun bisa dipasarkan hingga US$1.000 di sebuah showroom di New York. Selisih nilai itu dinikmati orang lain.

Ego yang Memecah

Berbeda dengan Italia yang memiliki label Made in Italy, Denmark dengan Danish Design, atau Jepang dengan filosofi Monozukuri, Indonesia belum punya brand kolektif. Fragmentasi membuat pelaku industri berjalan sendiri-sendiri. Ego masih lebih dominan ketimbang kolaborasi. “Kita ekspor kayu yang berbentuk kursi, bukan kebudayaan dalam bentuk desain dan gaya hidup,” ujar Sobur.

Di luar masalah internal, ada pula tantangan eksternal. Uni Eropa akan memberlakukan regulasi ketat soal deforestasi (EU Deforestation Regulation/EUDR). Mulai 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar, dan pertengahan 2026 untuk skala kecil, setiap produk wajib membuktikan bahwa bahan bakunya tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi pasca-2020. Industri mebel Indonesia harus siap dengan sertifikasi ketat ini jika ingin tetap bersaing.

Saatnya Mentalitas Baru

Namun Sobur menekankan, jalan keluar selalu ada—syaratnya industri harus berani berubah. Orisinalitas dan inovasi mesti jadi kebanggaan, bukan sekadar pesanan buyer. Etika dagang yang sehat harus ditegakkan dengan menghentikan banting harga. Fokus harus bergeser dari menjual kontainer menuju menjual brand dan gaya hidup. Dan yang terpenting, kolaborasi ekosistem—antara pengusaha, desainer, pemerintah, hingga akademisi—harus diwujudkan.

“Indonesia tidak boleh puas jadi alternatif murah bagi buyer yang kecewa dengan Vietnam atau China. Kita harus tampil sebagai pusat kreativitas dunia,” ucapnya.

Jika tidak ada perubahan, kontribusi ekspor mebel dan kerajinan dari Jawa Tengah akan tetap tersendat di kisaran US$800 juta dari total ekspor provinsi. Tetapi jika berani bertransformasi, bukan mustahil Indonesia bisa melompat menjadi pemimpin industri kreatif dunia, sejajar dengan Italia atau Denmark, bahkan melampaui Vietnam.

Di tengah kayu yang dipahat, rotan yang dianyam, dan bambu yang dibelah, sebenarnya tersimpan martabat bangsa. Pertanyaannya kini: beranikah kita meninggalkan mentalitas murah dan menegakkan kembali kebesaran kriya Indonesia? (aryodewo)

Leave a Comment