05/11/2025
AktualPendidikan

Sekolah yang Digusur Gajah, Tumbuh Sawit di Atasnya

Tesso Nilo RIAU, PosSore  — Di tengah kawasan yang katanya taman nasional, suara anak-anak masih terdengar. Mereka membaca dengan lantang, mengulang-ulang pelajaran di bangunan semi permanen yang berdiri di tepi kebun sawit. Tanpa listrik, tanpa air bersih, tanpa kursi cukup. Tapi mereka tetap datang, setiap pagi. Karena mereka tahu: sekolah adalah satu-satunya pintu keluar dari gelap.

Namun, pintu itu nyaris dirampas. Bukan oleh banjir, bukan oleh binatang buas, tapi oleh kebijakan yang menindas diam-diam—dan yang lebih menyakitkan, dibungkus dengan alasan konservasi.

Tahun 2021, lahan tempat sekolah mereka berdiri digusur. Alasan yang diberikan oleh pejabat kawasan: lahan itu berada di zona perlindungan gajah Sumatera. Mereka menyebutnya sebagai bagian dari pemulihan habitat, karena Tesso Nilo masuk dalam kawasan Taman Nasional yang dikelola oleh pemerintah pusat melalui Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).

Guru dan warga menunduk pasrah. Mereka diajak percaya bahwa konservasi lebih penting dari kelas darurat. Sekolah pun dibongkar. Murid-murid dipindahkan ke bangunan darurat, menumpang di balai warga yang beratap seng dan berlantaikan tanah. “Kami percaya saat itu, ini untuk kebaikan,” ujar seorang guru yang tak ingin disebutkan namanya.

Namun, beberapa bulan kemudian, kepercayaan itu hancur. Lahan bekas sekolah tidak ditanami pohon. Tidak juga dikembalikan ke bentuk hutan. Tapi justru dibabat dan ditanami sawit. Terlihat jelas barisan tanaman muda dengan pupuk mengelilingi pangkal batangnya. Tak ada gajah. Tak pernah ada.

Ironi di Jantung Taman Nasional

Tesso Nilo adalah kawasan hutan dataran rendah yang seharusnya menjadi surga bagi keanekaragaman hayati. Namun berdasarkan investigasi sejumlah LSM dan laporan media, sekitar 75% kawasan taman nasional ini sudah berubah menjadi kebun sawit ilegal. Perambahan terjadi bertahun-tahun, sebagian ditengarai melibatkan korporasi besar dan oknum aparat.

Balai TNTN sempat berdalih bahwa sebagian kawasan sulit dikendalikan karena keterbatasan personel. Namun upaya penertiban justru kerap menyasar warga sipil dan fasilitas sosial seperti sekolah, bukan pada pelaku utama perambahan.

“Kami sudah ajukan permohonan agar sekolah ini dilindungi. Tapi tidak pernah direspons,” ujar ketua RT setempat. Warga pun merasa dibohongi. Konservasi gajah hanya menjadi tameng untuk menggusur sekolah anak-anak. Sementara para pemodal sawit melenggang menanami lahan yang katanya milik negara.

Di kelas yang kini tak berdinding penuh itu, guru-guru tetap mengajar. Di tengah suara seng diterpa angin dan bocor saat hujan, mereka menulis di papan tulis bekas. Tak jarang, anak-anak belajar sambil memegang payung atau memakai jas hujan plastik.

“Kalau kami berhenti, berarti kami menyerah. Dan kami tidak ingin anak-anak tumbuh dengan kalah,” kata sang guru perempuan sebut saja Namanya Nina, matanya basah.

Air matanya terekam dalam video yang sempat viral di media sosial. Ia bukan menangisi gaji kecil atau fasilitas minim. Ia menangisi kenyataan bahwa di negeri ini, pendidikan masih kalah oleh kepentingan sawit.

Kisah di Tesso Nilo hanyalah satu dari banyak cerita sunyi di pelosok Indonesia—di mana anak-anak belajar di antara kebun sawit, dan guru berdiri di tengah ketidakpastian.

Pemerintah pusat telah berulang kali mengklaim komitmennya terhadap pendidikan dan konservasi. Tapi di lapangan, dua hal itu kerap dipertentangkan. Ketika warga membangun sekolah, disebut melanggar aturan taman nasional. Tapi ketika korporasi menanam sawit, tak banyak yang berani bersuara.

“Watak bejat itu bukan hanya soal korupsi. Tapi ketika pejabat diam saat anak-anak kehilangan haknya belajar, itu juga bejat,” ucap seorang aktivis lingkungan dari Pekanbaru yang ditemui di Jakarta.

Anak-anak Tesso Nilo masih belajar. Di sela tumpukan jerami, di atas papan kayu yang nyaris lapuk. Mereka tetap membaca, tetap menulis. Tapi siapa yang menjamin bahwa tahun depan sekolah mereka tak kembali digusur? (aryodewo)

Leave a Comment