Janji Presiden Prabowo soal penghapusan sistem outsourcing belum ditindaklanjuti secara konkret oleh Menteri Ketenagakerjaan. Buruh mulai gerah, publik menagih arah.
JAKARTA, Possore.id — Lebih dari seratus hari telah berlalu sejak pelantikan kabinet baru, janji kampanye Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing di sektor-sektor strategis masih belum terlihat wujudnya.
Berbagai kritik kini dilayangkan dan mengarah pada Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, seorang akademisi teknik industri dari ITB, yang dinilai terlalu sibuk dengan pendekatan teoritis dan lamban dalam mengeksekusi kebijakan konkret.
Sistem kerja outsourcing, yang selama dua dekade terakhir menjadi sumber penderitaan jutaan buruh, sempat menjadi salah satu isu sentral yang disorot Presiden Prabowo dalam debat publik maupun dokumen visi-misi.
Dalam janji kampanyenya, Presiden Prabowo menegaskan bahwa sistem tersebut akan dihapus secara bertahap, khususnya di sektor-sektor yang bersifat inti dan permanen.
Namun hingga hari ini, tidak ada satu pun peraturan menteri yang diterbitkan untuk merevisi skema ketenagakerjaan outsourcing, tidak ada draf revisi PP 35/2021 (turunan UU Cipta Kerja) yang dikonsultasikan ke publik, dan tidak ada surat edaran kepada perusahaan untuk mulai membatasi praktik alih daya.
Kritikan Serikat Buruh, melayang menuju Jalan Gatot Subroto, Kavling 51, tempat Menteri Yassierli berkantor sehari-hari.
Presiden OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia) berpendapat, Presiden Prabowo harus menegur Menaker mengapa instruksinya tidak segera dilaksanakan, karena pidato beliau saat perayaan MayDay itu sangat dinantikan realisasinya, bukan cuma omon-omon saja.
“Itu janji politik yang tidak sembarangan, karena diucapkan oleh orang nomor satu di negeri ini. Menaker Yassierli dituntut segera melakukan public hearing dan menerima masukan dari para Pelaku Hubungan Industrial,” tegasnya.
Dengan cara ini, dia akan tahu bagaimana cara menghapuskan sistem kerja outsourcing yang kerap menempatkan pekerja pada dua majikan, yakni Pihak Pemberi Kerja dan Agen Outsourcing itu sendiri.
Hal senada dilontarkan Sekjen OPSI, Timboel Siregar yang agak soft menilai keterlambatan itu.
Menurutnya, presiden dalam pidatonya berjanji mempelajari usulan penghapusan outsourcing dengan memperhatikan iklim invsstasi.
Untuk itu, lanjutnya Timboel, sebaiknya Presiden menjalankan dulu amanat pasal 64 UU 6 tahun 2023 yang mengamanatkan pembatasan pekerjaan yg bisa dioutsourcing.
Pembatasan jenis pekerjaan yg bisa dioutsourcing pun diperintahkan putusan MK no. 168 tahin 2024.
“Fokus membatasi jenis pekerjaan yg bisa dioutspurcing, yaitu dengan segera merevisi PP 35 tahun 2021 terkait outsourcing. Sampai saat ini Pemerintah (Kemnaker) belum merevisi PP 35 tahun 2021.
Pertanyaannya, Apakah penerapan pasal 64 UU No 6 tahun 2023 sudah ditindaklanjuti Menteri Yassierli ? Belum, jawabnya singkat, dan ini, ujar Timboel, adalah kesalahan Menaker sebagai leading sector. “Presiden mungkin tidak tahu soal teknis ini,” tegasnya.
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Aulia Rahman, menyebut kinerja Kementerian Ketenagakerjaan di bawah Yassierli nyaris tidak terdengar. Sikap pasif sang menteri bertolak belakang dengan mandat politik Presiden.
“Kami bertemu dengan Presiden Prabowo saat kampanye dan dijanjikan penghapusan outsourcing. Tapi kini, menterinya malah seperti tidak mau ambil risiko,” ujar Aulia,
“Kalau hanya menganalisis data, membuat makalah, dan berbicara soal sistem kerja ideal, itu bisa dilakukan di ruang kuliah. Tapi di kementerian, yang dibutuhkan adalah keputusan politik dan keberanian mengeksekusi,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui latar belakang akademik Yassierli menjadi sorotan, karena dia adalah pakar ergonomi dan sistem kerja di Fakultas Teknologi Industri ITB.
Ia dikenal luas di kalangan akademisi, namun hampir tidak memiliki rekam jejak dalam pengorganisasian pekerja, advokasi hukum ketenagakerjaan, atau mediasi industrial.
Pendekatannya yang terlalu berhati-hati dan cenderung birokratis dinilai sebagai warisan dunia akademik yang tidak kompatibel dengan dinamika dunia kerja yang menuntut respons cepat.
Dari dalam gedung Kemnaker bergaung kabar bahwa sejak dilantik, sang menteri lebih banyak memimpin FGD (focus group discussion) dan rapat koordinasi internal, ketimbang turun langsung ke kawasan-kawasan industri yang menjadi pusat praktik outsourcing.
“Bisa-bisa kementerian ini menjadi laboratorium riset, bukan instrumen politik untuk menegakkan keadilan ketenagakerjaan,” kata gaung yang menggema.
Jika dibandingkan dengan Spanyol pada 2021 secara tegas membatasi sistem kontrak temporer dan outsourcing melalui reformasi tenaga kerja progresif di bawah Menteri Yolanda Díaz.
Pemerintah di sana menyatakan bahwa pekerjaan permanen tidak bisa diserahkan ke pihak ketiga karena bertentangan dengan prinsip kerja layak. Hasilnya, jutaan pekerja beralih status menjadi tetap, dan angka pengangguran justru menurun.
Mestinya Yassierli mencontoh langkah ini meski pada awalnya akan ditentang oleh asosiasi pengusaha. Kuncinya adalah kemauan politik dan keberanian menghadapi risiko.
Janji telah diucapkan oleh Presiden, namun hingga kini tidak ada kepemimpinan yang cukup kuat di Kementerian Ketenagakerjaan untuk menerjemahkannya ke dalam kebijakan konkret.
Situasi ini berpotensi merusak kredibilitas janji Presiden Prabowo jika tidak segera dikoreksi.
“Kalau presiden sudah menjanjikan sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu buruh, tapi menterinya jalan di tempat, maka ini bisa menjadi preseden buruk. Presiden harus mulai mempertimbangkan teguran atau reshuffle jika tidak ada progres,” tegas Pengamat kebijakan publik dari UGM, Tri Wahyu Prasetya,
Penghapusan sistem outsourcing bukan sekadar soal administratif atau akademis. Ia adalah bagian dari visi keadilan ekonomi dan reformasi hubungan industrial yang menuntut tindakan cepat, progresif, dan berpihak pada pekerja.
Jika Menteri Ketenagakerjaan terus bersembunyi di balik rapat teknis dan kajian normatif, maka janji Presiden akan menjadi jargon kosong. Dan para buruh, seperti biasa, akan kembali menjadi korban dari kompromi elite yang enggan bertindak tegas. (**)