JAKARTA, PosSore — Di balik rimbunnya hutan Indonesia, tersembunyi kekayaan yang tak ternilai yaitu potensi bahan baku mebel yang melimpah. Bagi Prof.Dr.Ir. Dede Hermawan, MSc., Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB sekaligus Dewan Pakar Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), peluang ini seharusnya bisa menjadi kekuatan besar industri mebel dan kerajinan nasional.
“Secara kompetitif, kita punya kekuatan di bahan baku,” ujar Prof. Dede dalam percakapannya dengan PosSore Senin (21/4) usai acara diskusi bahan alternatif berbasis kelapa sawit. “Di tengah memanasnya perang dagang global, khususnya antara Amerika dan China, Indonesia justru bisa mengambil celah sebagai pemasok unggulan.”
Menurutnya, Indonesia tidak hanya unggul dalam sumber daya, namun juga telah menguasai teknologi dasar pengolahan kayu. Persoalannya bukan pada kemampuan, melainkan pada bagaimana memanfaatkan momentum dan bersinergi dalam ekosistem industri yang sehat.
Kepedulian Prof. Dede terhadap industri mebel bukan hal baru. Pria yang punya hobi traveling itu telah berkutat dengan dunia pengolahan kayu sejak 1991, meneliti bahan baku alternatif yang tidak hanya kuat secara teknis tetapi juga ekonomis. Dari laboratorium IPB hingga kerja lapangan, pengalamannya membentang lebih dari 30 tahun.
“Bidang saya memang mengolah kayu,” ujarnya. “Sekarang kita bicara sawit, dan kenyataannya Malaysia sudah membuktikan, mereka berhasil mengolah limbah kelapa sawit menjadi bahan baku mebel yang menguntungkan. Kenapa kita tidak bisa?”
Menurut Prof. Dede, ini bukan soal kemampuan individu semata. Ia mendorong kolaborasi antara akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah. Model ABG (Academician-Business-Government) inilah yang menurutnya telah membawa negara-negara seperti Jepang dan China melesat di industri.
Titik Lemah yang Harus Dibenahi
Satu hal yang menjadi sorotan Prof. Dede adalah ketergantungan industri mebel Indonesia terhadap pesanan luar. “Selama ini kita baru membuat produk setelah ada permintaan.Desain belum menjadi kekuatan utama,” jelasnya.
Ia mencontohkan beberapa pelaku industri yang mulai menunjukkan kemandirian desain—seperti di Cirebon—di mana produk sudah dipatenkan dan memiliki karakter kuat. Tapi jumlahnya masih sangat terbatas. Menurutnya, kolaborasi antara desainer dan teknolog kayu harus ditingkatkan agar inovasi bisa berkembang.
“Kita punya kapasitas teknik yang mumpuni. Kita tahu bagaimana membuat kayu tak awet jadi awet, yang rapuh jadi kuat. Tapi tanpa sentuhan desain, produk kita tetap kalah di pasar global.”
Sebagai bagian dari dunia akademik, Prof. Dede percaya kampus mempunyai tanggung jawab besar untuk terus meneliti dan menghasilkan inovasi—termasuk bahan penolong seperti lem yang ramah lingkungan dan efisien secara bisnis. Namun, ia mengingatkan bahwa kampus tidak bisa bekerja sendiri.
“Kita memerlukan dukungan regulasi. Banyak pengusaha mengatakan, mereka tidak perlu insentif, asal jangan diganggu. Itu juga bentuk regulasi—jangan sampai aturan-aturan justru menjaga iklim usaha.”
Ia mengajak pemerintah untuk lebih fokus menciptakan lingkungan usaha yang kondusif, sekaligus tetap mendukung produktivitas melalui kebijakan yang pro-industri. Mengamati industri mebel di Vietnam, Prof. Dede tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Negara yang bahan bakunya harus diimpor ini justru mengalami perubahan pertumbuhan yang signifikan.
Menurutnya, hal ini terjadi karena kolaborasi yang solid antara pemerintah, industri, dan tenaga kerja, serta stabilitas sosial yang dijaga ketat. “Di sana hampir tidak ada demo yang mengganggu kegiatan industri. Pemerintah menjaga agar industri bisa tumbuh dengan tenang. Kita bisa belajar dari situ,” tegasnya.
Indonesia, dengan kekayaan bahan bakunya sendiri, seharusnya bisa lebih unggul. Tinggal bagaimana kita meningkatkan etos kerja, memperbaiki regulasi, dan memperkuat sinergi.
Mengakhiri perbincangan, Prof. Dede berharap agar seluruh pemangku kepentingan—dari pelaku industri, akademisi, hingga pemerintah—bisa duduk bersama dan merumuskan strategi yang konkret dan berkelanjutan.
“Kita ini punya segalanya. Tapi kalau jalan sendiri-sendiri, ya sulit. Industri mebel dan kerajinan kita punya potensi menjadi raja, tapi harus dikelola dengan strategi yang cerdas dan sinergis.” (aryodewo)
