3.8 C
New York
03/12/2024
Aktual Ekonomi

Adaptasi, Inovasi, dan Jaringan: Pilar Kesuksesan Bisnis di Era Modern

JAKARTA, PosSore — Di tengah laju perubahan yang cepat dalam dunia bisnis modern, muncul pertanyaan penting: seberapa relevan teori bisnis dengan praktik nyata? Banyak yang menganggap teori-teori yang diajarkan di ruang akademik sering kali tampak terlepas dari kenyataan, sementara dunia bisnis sendiri dipenuhi ketidakpastian dan dinamika yang terus berubah. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Peter Drucker, “The best way to predict the future is to create it.” Pernyataan ini menegaskan bahwa teori dan praktik seharusnya tidak dipisahkan, tetapi saling melengkapi.

Menurut Iman Rahman, yang saat ini menjabat Ketua Bidang Promosi dan Pemasaran Wilayah Asia DPP Himpunan Industri Mrebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) teori bisnis sesungguhnya bukanlah sekadar konstruksi akademis, melainkan hasil pengamatan yang mendalam terhadap pola dan tren dalam dunia bisnis.

Namun, tantangannya adalah bagaimana menerapkan teori-teori tersebut dalam realitas yang tak terduga. Teori yang tampak sempurna di atas kertas bisa jadi tak relevan ketika dihadapkan dengan volatilitas pasar, perubahan teknologi, atau dinamika sosial-politik yang cepat berubah.

Michael Porter dalam esainya What is Strategy? menegaskan bahwa strategi bukanlah tentang melakukan banyak hal, melainkan memilih hal-hal yang tidak dilakukan. “Esensi strategi adalah memilih apa yang tidak dilakukan.” Pernyataan ini, kata Iman dalam percakapannya dengan PosSore Senin (30/9) mengingatkan betapa perusahaan harus berani mengambil keputusan yang menyimpang dari kerangka teori ketika kenyataan menuntut fleksibilitas.

Beberapa teori manajemen klasik, seperti yang dikemukakan Henri Fayol dan Max Weber, tetap relevan di sektor industri mapan. Prinsip Weber tentang birokrasi dan efisiensi, misalnya, masih sangat berpengaruh di industri besar seperti otomotif atau energi. Namun, di era digital, struktur hierarkis yang kaku sering kali menjadi penghambat inovasi dan kelincahan organisasi.

Kasus Kodak adalah contoh nyata perusahaan yang gagal beradaptasi. Terlalu fokus pada teori klasik tentang dominasi pasar dan efisiensi, Kodak mengabaikan inovasi disruptif yang datang melalui kamera digital, sementara pesaing seperti Apple berani mengambil risiko dengan teknologi baru. Kesalahan ini membuat Kodak tersingkir dari persaingan.

Sementara teori klasik bisa menjadi jebakan, Teori Kontinjensi yang dikemukakan oleh Paul Lawrence dan Jay Lorsch menyatakan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang cocok untuk semua perusahaan. Kesuksesan bisnis itu tergantung pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Contoh penerapan teori Kontinjensi kata Iman Rahman terlihat pada Starbucks yang menyesuaikan menunya dengan preferensi lokal di berbagai negara. Di Jepang, mereka menambahkan rasa matcha, sementara di Indonesia, mereka memperkenalkan menu kopi lokal.

Dalam era disrupsi, perusahaan yang mampu bertahan adalah mereka yang bisa menerapkan inovasi disruptif. Clayton Christensen, dalam bukunya The Innovator’s Dilemma, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan besar terjebak dalam ‘perangkap sukses’ mereka sendiri. Mereka terlalu fokus pada peningkatan produk yang sudah ada dan mengabaikan teknologi baru yang lebih sederhana namun lebih efektif, seperti yang dilakukan Tesla terhadap industri otomotif dengan kendaraan listriknya.

Selain inovasi, kekuatan jaringan juga memainkan peran kunci dalam bisnis modern. Mark Granovetter, dalam teorinya The Strength of Weak Ties, menjelaskan bahwa hubungan lemah sering kali lebih efektif dalam menemukan peluang baru dibandingkan hubungan kuat. Dalam konteks bisnis global, membangun jaringan lintas budaya dan negara sangatlah penting. Perusahaan seperti CV Razzaq Berkah Mulia dari Jepara adalah contoh bagaimana kekuatan jaringan dapat membantu menembus pasar internasional, melalui partisipasi dalam pameran global dan kemitraan dengan perusahaan asing.

Pada akhirnya, kesuksesan bisnis bukan hanya tentang memahami teori, tetapi juga menerapkannya dalam tindakan nyata. Strategi yang sukses, seperti yang diungkapkan Porter, bukan hanya tentang memilih apa yang dilakukan, tetapi juga tentang apa yang tidak dilakukan. Di dunia yang kompetitif, keberanian untuk menolak beberapa peluang sama pentingnya dengan mengejar peluang baru.

Contoh seperti Unilever yang berhasil menggabungkan tanggung jawab sosial dengan keuntungan bisnis jelas CEO CV Razzaq Berkah Mulia tersebut menunjukkan bagaimana teori dapat diterapkan dengan cerdas. Melalui program Sustainable Living Plan, Unilever tidak hanya memperkuat citra perusahaan, tetapi juga menciptakan model bisnis yang lebih berkelanjutan.

Bisnis modern menurut Iman Rahman adalah tentang keseimbangan antara teori dan praktik. Mereka yang mampu beradaptasi, belajar dari teori, dan mengambil langkah nyata akan menjadi pemenang di masa depan. Seperti yang dikatakan Charles Darwin, “It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.” Di era disrupsi ini, mereka yang cepat beradaptasi dan menerjemahkan teori ke dalam aksi akan memenangkan persaingan. (aryo)

Leave a Comment