Oleh Ramly Amin
MULAI beredar di grup-grup WA, hasil investigasi sebuah media nasional terpercaya, tentang dugaan korupsi terkait penyelenggaraan ibadah haji (plus) tahun ini. Modusnya, pengalihan sejumlah quota untuk jemaah haji reguler menjadi haji plus yang harganya jauh lebih tinggi.
Jika dugaan korupsi ini benar terbukti, betapa kejinya praktik ini. Jatah calon jamaah yang sudah sabar menunggu bertahun-tahun (mulai masa tunggu 16 Tahun di Sulut, sampai 38 tahun di Kalsel) Selatan) dialihkan begitu saja kepada jemaah yang mampu membayar jauh lebih tinggi.
Sebagai umat beragama, kita gak habis pikir, betapa orang orang yg terlibat praktik korupsi ini tidak punya rasa empati sama sekali.
Lebih jauh, betapa pejabat yang telibat makan duit korupsi ibadah haji ini tidak, tak lagi ada rasa takut kepada Tuhannya.
Bagaimana nanti reaksi keluarganya, maupun anak-anak pejabat tersebut, apabila suatu waku nanti hukum dapat membuktikan bahwa mereka melakukan atau turut melakukan korupsi dalam penyelenggaraan praktik berziarah ke rumah Allah?
Di negeri ini undang-undang (UU) memang mengatur ada 2 jenis jemaah haji, reguler dan khusus atau plus, dan mengatur quota bagi masing- masingnya. UU ini seolah memberi peluang terjadinya permainan. Seharusnya dua jenis jemaah tersebut dihapus saja.
UU ini – No. 8/2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh, juga bisa menjerumuskan orang-orang berduit untuk merebut jatah haji dari jemaah yang sesunguhnya lebih berhak berziarah ke tanah suci.
Entahlah. Isu korupsi ini sendiri sebelumnya sudah dibantah pihak Kementerian Agama.
Dirjen PHU Kemenang Hilman Latief, Senin (15/7) membantah tudingan Komisi VIII DPR RI yang menilai adanya indikasi dugaan korupsi dalam penyelenggaraan Haji 2024.
Kemenag, katanya, tidak jualan kuota. Dia menunjuk pengaturan yang tertuang dalam MoU Kemenag-Menteri Haji Saudi. “Kita tidak boleh jual-jual sembarangan,” katanya.(Ramly Amin; PWI No.09.00.3171.90)**