LONDON — Wanita Muslim bercadar atau niqab disarankan untuk tidak bepergian ke Leicester, Inggris karena menjadi sasaran kemarahan orang yang tak menyukainya.
Kesimpulan ini terungkap dalam sebuah buku baru karya dua dosen kriminologi University of Leicester. Para wanita bercadar terancam serangan kebencian bahkan sekalipun ada di dalam mobil.
“Orang-orang merasa bebas menyerang kami setiap hari. Mereka menyumpah, menatap dengan mata melotot, meludah dan menyuruh kami pulang ke rumah. Mereka memanggil kami teroris,” ujar seorang wanita yang ikut serta dalam studi itu kepada Leicester Mercury.
Buku itu berdasarkan hasil wawancara lebih dari 100 wanita Muslim yang tinggal di Leicester dalam kurun 12 bulan.
Bertajuk “Islamphobia, Victimization and the Veil”, buku itu juga mengungkapkan pengakuan para wanita Muslim yang semakin merasa sulit menghindar dari insiden seperti itu di jantung kota.
Buku ini karangan Dr Irene Zempi dan Neil Chakraborti.
“Ada tempat-tempat di Leicester yang tidak dapat kami lalui, bahkan dalam mobil sekalipun,” ujar wanita yang tak mau disebutkan namanya itu.
“Kini makin sulit memakai cadar di jantung kota. Saya tidak mau pergi ke luar rumah kecuali terpaksa,” tambahnya.
Niqab adalah cadar yang menutupi sebagian besar wajah kecuali mata. “Saya orang Inggris seperti warga lain. Kami main sepakbola dan tenis di rumah. Anak-anak suka bergurau dan menyebut saya ‘mama ninja’. Kami kira dengan mengabaikannya, itu akan berlalu. Ternyata tidak,” ujarnya.
Banyak wanita bercadar yang diwawancarai menganggap Leicester akan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk mereka dan keluarga. Bahkan seorang wanita lainnya mengaku pernah dilempar air teh oleh orang lain. Bahkan ada yang pernah disikut di perut.
“Di tempat-tempat lain, bahkan kondisinya lebih buruk. Bahkan ada orang-orang rasis di Leicester,” ujar seorang wanita berusia 36 tahun seperti dikutip dalam buku itu.
“Kami pindah ke Leicester karena masyarakatnya lebih aman. Juga lebih baik untuk anak-anak. Leicester lebih toleran, meski masih ada islamfobia,” tuturnya.
Ketika menulis buku itu, Dr Zempi memakai niqab selama sebulan untuk memahami perasaan seperti yang dialami para korban.
“Sikap terhadap saya berubah dalam semalam. Orang jadi kasar dan mengancam. Para penjaga toko yang sebelumnya ramah kini malah mengabaikan saya. Saya jadi tidak mau pergi ke luar. Saya jadi depresi,” ujarnya.
Tingkat kekasaran yang dialami para korban bervariasi, tergantung pada tempatnya, apakah berada di lingkungan sekitar atau apakah mereka sudah meninggalkan ‘zona aman’.
Prihatin atas peningkatan serangan, Shaista Gohir, ketua Jaringan Wanita Muslim Inggris, mendesak para korban untuk melaporkan semua insiden serangan kebencian.
“Ketika saya masih mahasiswa di Leicester 25 tahun lalu, kami diberitahu untuk menghindari tempat-tempat tertentu bila memiliki kulit coklat. Cadar dan jilbab saat itu masih sangat jarang. Ternyata perilaku seperti itu di kawasan itu belum berubah,” ujar Gohir.
Sumber kepolisian menyebutkan ada 11 kasus kekerasan berlandaskan agama pada wanita setahun lalu, salah satunya seorang pria menarik paksa cadar seorang wanita.
Tercatat hampir 2,7 juta orang Muslim di Inggris. Bila jilbab adalah kewajiban pakaian yang harus dipakai seorang wanita Muslim. Mayoritas ulama sepakat wanita tidak wajib memakai cadar atau burqa yaitu pakaian longgar yang menutupi seluruh tubuh dikepala hingga ujung kaki yang dipakai sebagian wanita Muslim.(onislam/meidia)