12.3 C
New York
26/10/2024
Aktual Opini

Ironi dan Keanehan di dalam RUU (OBL) Kesehatan

Oleh: Zaenal Abidin

Tema diskusi yang diselenggarakan Kang Hadi Conscience pada 10 April 2023 cukup menarik. Anggaran Kesehatan di RUU (OBL) Kesehatan: Naik Turun Kemudian Dihapus. Penulis diminta untuk memberi komentar atau tanggapan dalam webinar tersebut. Karena menariknya sehingga penulis kemudian tertarik untuk menulis komentar yang penulis sampaikan pada diskusi tersebut.

Penanggap lain yang tampil sat itu adalah Dr. dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad (Ketum PB IDI periode 2006 – 2009), Dr. Chazali Husni Situmorang, Apt. (Pengamat Kebijakan Publik/Mantan Ketua DJSN RI), dr. Muhammad Baharuddin, SpOG (Praktiksi Kesehatan), dr. Amiruddin Rauf, SpOG (mantan Bupati Buol Sulawesi Tengah). Tampil sebagai nara sumber adalah pemrasaran dr. Misbahul Munir (Ketua Bidang JKN PB IDI/mantan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan).

Lima ironi RUU (OBL) Kesehatan

Bagi penulis, RUU (OBL) Kesehatan adalah sebuah ironi. Ironi pertama. Karena pihak kementerian kesehatan dan para juru bicaranya sudah gembar-gembor melalui media mainstream dan media sosial bahwa baru kali ini anggaran kesehatan naik menjadi 20% di APBN dan 10% di APBD. Ternyata dihapusnya sendiri.

Meski sebetulnya semua orang tahu bahwa besaran tersebut baru usulan. Dan, untuk diketahui di dalam UU N0. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, anggaran kesehatan minimal 10% di APBN di luar gaji pegawai dan minimal 5% di APBD di luar gaji pegawai.

Ironi kedua. Karena penghapusan besaran anggaran tersebut dapat saja menjadi bukti atas ketidakpahaman akan pentingnya sektor kesehatan bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara. Ini juga menunjukan bahwa pemerintah tidak begitu serius mengurus kesehatan rakyat.

Ironi ketiga. RUU (OBL) Kesehatan terkesan sengaja disetting untuk menciptakan pemusatan kekuasaan bidang kesehatan di tangan Menteri Kesehatan. Beberapa tugas dan kewenangan yang selama ini diemban oleh lembaga negara di luar kementerian ingin diambil alihnya.

Konsil Kedokteran Indonesia yang menurut UU No. 29 Tahun 2004 tetang Praktik Kedokteran diangkat bertanggung jawab langsung kepada Presiden pun ingin ditempatkan di bawah Menteri Kesehatan.

Pun Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) yang menurut UU Sistem Jaminan Sosial (SJSN) dan UU BPJS, diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden juga mau ditempatkan di bawah kendali Menteri Kesehatan.

Ironi keempat. Dua undang-undang produk Reformasi yakni: UU Praktik Kedokteran dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-5, Ibu Megawati Soekarnoputri ingin dimutilasi begitu saja melalui RUU Omnibus Law dengan dalih Tranformasi Kesehatan yang digagas Menteri Kesehatan. Hal ini kemudian menimbulkan banyak pertanyaan, “lebih penting mana reformasi dibanding transformasi kesehatannya?”

Ironi kelima, semangat reformasi menginginkan agar organisasi profesi diberdayakan agar mampu menjalankan tugas dan kewenangan secara otonom dan mandiri. Ironinya, karena tugas dan kewenangan organisasi yang sudah dilaksanakan secara otonom dan mandiri tersebut hendak “diambil paksa” melalui RUU (OBL) Kesehatan. Bahkan ada wacana ingin memisahkan kolegium dari organisasi profesi dan kemudian mengambil dan menempatkannya di bawah kendali Menteri Kesehatan.

Bagi yang tidak paham sejarah kolegium di Indonesia, terutama kolegium di lingkungan profesi dokter, tentu ia akan gelap mata. Untuk diketahui bahwa IDI-lah yang pertama kali membentuk kolegium itu, kemudian menempatkannya sebagai bahagian dari IDI.

Tujuan dibentuknya kolegium adalah untuk mengampu pendidikan dan latihan dokter. Kolegium membuat standar pendidikan dan pelatihan dokter dan dokter spesialis. Kolegium pulalah yang sejak awal mentukan bahwa seorang dokter telah kompeten atau masih kompeten untuk melayani pasien.

Perlu juga diketahui, IDI-lah yang pertama kali menggagas dan menginisiasi pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Kolegiumlah yang diberi tugas untuk mengurusnya. Berhubung IDI tidak memiliki sarana pendidikan dan rumah sakit pendidikan maka ditempatkanlah pendidikan dokter spesialis itu di univesitas (fakultas kedokteran) dan dididiknya di rumah sakit pendidkan atau rumah sakit jejaring pendidikan, baik itu rumah sakit pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun swasta.

Dari sini dapat dimengerti mengapa Prof. F..A. Moeloek selalu menyebut istilah “Tigo Tungku Sajarangan.” Dalam hal ini kolegium (organisasi profesi), institusi pendidikan (fakultas kedokteran) dan rumah sakit pendidikan. Bila diibaratkan dengan masakan, kata Prof. Moeloek, maka kolegium (organisasi profesi) itu tugasnya pembuat resep dan menyusun menunya.

Setelah menu selesai disusun kolegium kemudian meminta kepada intitusi pendidikan (koki) untuk memasaknya. Koki akan memasaknya sesuai permintaan kolegium di dapur yang bernama rumah sakit pendididikan.

Setelah masakan selesai, sebelum dihidangkan kepada tetamu, pembuat menu sekaligus pemesan masakan (kolegium) meminta masakan tersebut untuk dicicipi, dites guna memastikan apakah masakan yang dihasilkan oleh sang koki sudah sesuai dengan yang dipesannya.

Posisi kolegium di sini memang cukup penting sebab selain membuat menu pendidikan, ia juga menjadi wakil IDI di bidang pendidikan. IDI pasti mewanti-wanti kolegium agar mejalankan tugas dengan baik. IDI tentu tidak ingin anggotanya dididik menjadi dokter spesialis secara serampangan.

Apabila masakan yang dihasilkan sudah sesuai dengan kehendak pemesan (pembuat menu) maka pembuat menu akan mengeluarkan surat keterangan bahwa masakan yang diahasilakn sang koki sudah sesuai dan boleh sudah dihidangkan kepada tetamu.

Bila masakan belum sesuai maka pembuat menu akan meminta sang koki untuk memasak ulang atau menyempurnakan masakannya. Begitulah Prof. Moeloek memberi perumpamaan hubungan “Tigo Tungku Sajarangan” dalam pendidikan kedokteran di Indonesia.

Jadi konsep pendidikan dokter spesialis Indonesia sebetulnya tidak juga sepenuhnya berbasis universitas. Penulis lebih cenderung menyebutnya berbasis “Tigo Tungku Sajarang” di bawah Kementerian Pendidikan (rezim UU Pendidikan). Bahwa kemudian, Menteri Kesehatan ingin mengambil alih kewenangan itu dari Kementerian Pendidikan melalui RUU (OBL) Kesehatan tentu bukan persoalan mudah.

Atau ingin mengubah pendidikan dokter spesialis yang berbasis “Tigo Tungku Sajarangan” tersebut menjadi berbasis rumah sakit saja, juga tidak gampang. Meski dengan iming-iming bahwa peserta pendidikan dokter spesilalis (PPDS) mendapatkan gaji selama menjalani pendidikan di rumah sakit.

Menteri Kesehatan perlu memikirkan ketersediaan dokter pendidik mapun fasilitas kesehatan yang dimilki rumah sakit tersebut. Dan lagi pula sebahagian besar rumah sakit yang akreditasi A dan B telah menjadi rumah sakit jejaring untuk pendidikan dokter dan dokter spesialis.

Karena itu, tentu semua keinginan tersebut perlu dipikirkan berkali-kali. Lagi pula pendidikan dokter spesialis itu tidak sesederhana memagangkan orang di bengkel las untuk kelak menjadi tukang las.

Keanehan penghapusan prosentase anggaran kesehatan

Konon ada dua alasan mengapa prosentase anggaran kesehatan tersebut dihapuskan di dalam RUU (OBL) Kesehatan. Kedua alasan itu yakni: karena selama ini serapan anggaran kesehatan rendah dan karena dapat mengurangi otonomi pengelola anggara oleh pemerintah. Bagi penulis, kedua alasan tersebut cukup aneh, apalagi Indonesia menganut hukum tertulis.

Alasan pertama. Rendahnya serapan anggaran kesehatan. Alasan ini tentu sulit diterima, sebab bukankah sering terdengar ada pelaksana program yang mengeluh karena kekurangan dana. Andai dananya cukup apalagi besar pasti dapat dilakukannya dengan sangat baik. Karena itu alasan ini sangat aneh. Berikut ini penulis akan memberi lima contoh keanehan terkait alasam ini.

Keanehan satu. Program promosi kesehatan sering tidak terlaksana sebab ketiadaan dana. Kalau pun ada, hanya bersifat umum melalui media televisi, radio, atau koran. Program promosi kesehatan yang sifatnya spesifik, berkala dan terprogram di tengah masyarakat sering diabaikan.

Bila dana ada tentu program tersebut dapat terlaksana dengan baik. Dana pula yang membuat tidak banyak orang yang berminat dalam program promosi kesehatan. Akibatnya tenaga kesehatan yang dididik untuk melakukan promosi kesehatan lebih tertarik bergabung dalam program kuratif.

Keanehan dua. Karena kementerian kesehatan sedang getolnya mengedepankan kegiatan kuratif (perawatan dan pengobatan) orang sakit, yang mana membutuhkan sangat banyak dana. Itulah sebabnya muncul ungkapan, ”mencegah lebih baik dari pada mengobati”.

Artinya, mencegah rakyat menjadi sakit melalu promosi kesehatan lebih baik dan lebih murah dibanding menunggu rakyat sakit lalu dirawat dan diobati. Menteri juga memberi iming-iming akan memberi gaji kepada dokter PPDS. Boro-boro menggaji, besaran anggaran saja dihapusnya.

Keanehan tiga. Masih terkait dengan perawatan dan pengobatan orang sakit. Selama ini tenaga kesehatan mengeluh karena dana kapitasi dalam program Jaminan Kesehatan (JKN) dinilainya sangat kecil. “Mau cepat sembuh tapi dananya kecil”, kata sebahagian tenaga kesehatan itu.

Sementara harga obat, alat kesehatan, bahan habis pakai, listrik, dan lainnya meningkat setiap tahunnya. Karena itu aggaran kesehatan ini perlu dinaikkan. Dan harus pula ada kepastian besarannya agar menjadi dasar bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membuat program guna meningkatkan kualitas pelayanannya. Termasuk meningkatkan kualitas rumah sakit yang dikelolanya.

Rumah sakit yang dikelola pemerintah pusat dan daerah mestinya tidak terus-menerus menderita kalah dari rumah sakit swarta, apalagi milik asing. Agar makin banyak elit politik dan pejabat pemeritah yang tertarik berobat dan dirawat di rumah sakit yang dikelolanya sendiri.

Seharusnya pemerintah menanam keyakinan pada dirinya bahwa ia mampu membuat rumah sakit yang dikelolanya berstandar internasional sebagaimana rumah sakit asing. Selain berstandar internasional juga lebih murah sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Mengapa murah karena rumah sakit pemerintah dikelola pemerintah dengan dana barsumber dari anggaran negara.

Keanehan empat. Karena selama ini pertumbuhan puskesmas yang ditumpangi sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (FKTP) juga tidak begitu cepat.

Buktinya masih banyak daerah kekurangan puskesmas. Juga ada 404 puskesmas tidak punya dokter (Okezone, 14 Februari 2023). Akibatnya untuk mendapatkan pelayanan medis, rakyat harus menempu jarak yang jauh. Padahal mereka secara rutin sudah membayar iuran jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan.

Kanehan lima. Tingginya harga obat di Indonesia. Mestinya hal ini disadari bahwa harga obat yang tinggi ini disebabkan karena bahan baku obat adalah impor. Sekalipun boleh jadi awalnya berasal dari alam Indonesia sendiri.

Kalau Indonesia punya anggaran kesehatan, yang katanya 20% (tapi dihapus) tentu dapat digunakan untuk penelitian dan penyediaan bahan baku obat di dalam negeri. Dan seterusnya. Jadi ke depannya Indonesia tidak perlu tergantung bahan impor yang sangat mahal. Hal sama juga untuk alat kesehatan.

Alasan kedua. Karena dapat mengurangi otonomi pengelola anggaran oleh pemerintah. Alasan ini betul-betul ironi, apalagi kalau benar yang menghapusnya adalah pihak kementerian kesehatan sendiri. Sebab itu artinya kementerian kesehatan tidak yakin begitu penting dan sentralnya arti sehat dan kesehatan bagi manusia Indonesia dan kelangsungan kebangsaan Indonesia.

Anggaran pendidikan yang jelas tencantum di UUD Negara RI 1945 sebesar 20% tidak ada yang protes dengan alasan akan mengurangi otonomi pengelola anggaran oleh pemerintah. Karena masyarakat tahu bahwa pendidikan dan menjadi pintar itu sangat penting bagi masa depan bangsa. Dan sangat paham kalau menjadi pintar itu membutuhkan dana besar, tidak ada yang gratis. Mestinya kesehatan itu tidak dibeda-bedakan dengan pendidikan. Sebab untuk tetap sehat atau menjadi sehat butuh biaya, tidak ada yang gratis.

Lalu mengapa kementerian kesehatan yang seharusnya sangat paham betapa pentingnya arti sehat dan paham bahwa sehat itu butuh biaya, tidak gratis, justru tidak berani mencantumkan 20%. Bahkan dihapus sama sekali.

Itulah sebabnya, muncul pertanyaan, lebih penting atau prioritas mana sehat dibanding pintar? Dan bagaimana kementerian kesehatan mau mengambil alih dan mengendalikan semua urusan kesehatan bila besaran anggarannya tidak dituliskan? Wallahu a’lam bishawab.

(Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012 – 2015)

Leave a Comment