Oleh Abdul Salam Elhasyim
BADAN Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memaknai bencana adalah sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat baik disebabkan faktor alam atau manusia yang mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis
Jadi bencana itu bisa ditimbulkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penangulangan Bencana membagi bencana ke dalam tiga kategori yaitu bencana alam, non alam, dan bencana sosial.
Dalam sejarah, pada era Mesir kuno pernah dilanda bencana kekeringan selama tujuh tahun. Sungai Nil saat itu gagal melewati fase banjir tahunan, yang membuat masyarakat Mesir mengalami kekeringan dan kelaparan. Ini bisa dimengerti karena sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah bercocok tanam dan sangat bergantung dengan limpasan sungai Nil.
Bencana kemarau di Mesir yang kemudian terkenal dengan kisah Nabi Yusuf AS ini berawal dari mimpi raja yang melihat tujuh ekor sapi betina gemuk dimakan oleh tujuh sapi betina kurus. Dalam mimpinya raja juga melihat tujuh tangkai bulir gandum hijau dimakan oleh tujuh tangkai bulir gandum kering.
Raja yang masih tercengang dengan mimpinya pun memanggil ahli nujum untuk menguak makna mimpi yang dialaminya itu. Namun, para ahli nujum hanya mengatakan bahwa mimpi itu tak berarti apa-apa, tak memiliki makna khusus.
Raja yang penasaran atas jawaban para ahli nujum Istana tersebut kemudian membuka sayembara bahwa siapa yang mampu menafsirkan mimpinya dengan baik akan diberi penghargaan dan hadiah besar. Dan diam-diam pelayan Istana pun mengarahkan raja kepada Nabi Yusuf yang saat itu tengah terkurung dalam penjara.
Singkat cerita, Nabi Yusuf lantas menjelaskan bahwa mimpi sang raja adalah peringatan dari Allah SWT dimana akan terjadi masa subur selama tujuh tahun dengan air yang melimpah di daerah kekuasan raja serta tujuh tahun berikutnya akan terjadi musim paceklik di mana sungai Nil akan mengering.
Dalam teori BMKG Nabi Yusuf AS dianggap sebagai orang yang memiliki ‘early warning
system’ atau system peringatan dini, sehingga beliau mampu mengatasi sesuatu yang akan terjadi kemudian.
Kisah ini dapat dibaca dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 43-56. Dalam kisah tersebut (Yusuf) dalam memaknai mimpi sang raja berkata pada sang raja agar selama musim subur selama tujuh tahun untuk bercocok tanam (berturut-turut) dan semua hasil panennya disimpan kecuali untuk yang dimakan secukupnya dengan mengencangkan ikat pinggang.
Kemudian tujuh tahun berikutnya saat masa sulit (paceklik) raja diminta memanfaatkan hasil saimpanan panen sebelumnya berupa gandum, anggur dls untuk kepentingan rakyat tanpa harus berboros-boros.
Kisah Nabi Yusuf di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa manusia tidak boleh menyerah terhadap bencana. Seorang raja dengan intuisinya tidak percaya begitu saja terhadap ahli nujum Istana hingga sang raja menemukan orang yang memiliki kompetensi memaknai mimpinya, dan mau melaksanakan apa yang direkomendasikan hingga negaranya terbebas dari bencana besar kelaparan.
Begitu juga dengan Jepang, sebuah negara yang terletak di kawasan cincin api pasifik atau diistilahkan dengan ‘ring of fire’. Di kawasan ring of fire ini bencana gempa bumi dan tsunami bisa terjadi kapan saja.
Menyadari ancaman bencana yang begitu besar, Jepang pun mengembangkan ‘early warning system’ yang canggih berbasis satelit, sehingga pihak berwenang dengan cepat dapat mengumumkan bencana gempa melalui media-media, dan warga setempat melalui pengeras suara, televisi, radio, email dan media seluler.
Dengan demikian, korban yang ditimbulkan dari bencana gempa dapat diminimalisir walaupun terjadi bencana namun korban jiwa tidak signifikan.
Indonesia juga termasuk negara dalam kategori zona ‘ring of fire’ itu. Melansir Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), ring of fire adalah Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik yakni daerah pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang menjadikan wilayah yang terlewati sering mengalami gempa bumi hingga letusan gunung berapi.
Kondisi atau ‘cincin’ ring of fire Indonesia memang tidak benar-benar berbentuk lingkaran melainkan berbentuk menyerupai tapal kuda dengan jalur ‘ring of fire’ mengelilingi Samudera Pasifik, termasuk di dalamnya wilayah Indonesia.
.
Gempa bumi yang terjadi di Cianjur, 21 Nopember 2022, kemudian disusul gempa di Garut berkekuatan 6.4 magnitudo terjadi Sabtu, 3 Desember 2022, sekitar pukul 17.00 berpusat di kedalaman laut 118 kilometer pantai Sayang Heulang, Garut bagian Selatan. BKMG menyatakan gempa tidak berpotensi tsunami.
Namun gempa tersebut mengindikasikan fakta tentang zona ‘ring of fire’ terswebut nyata di Indonesia.
Sebetulnya melalui bencana-bencana yang terjadi ini, Allah SWT tengah menguji para hambanya yang beriman dengan beragam cara.
Wujud dari bencana tersebutbisa sangat bervariasi. Ada yang Allah SWT uji dengan kematian, diuji dengan tanah longsor, angin puting beliung, tanah bergerak, banjir, gempa, wabah corona virus-19 yang status kedaruratannya belum dicabut pemerintah hingga hari ini.
Allah SWT menjelaskan musibah melalui ayat-ayatnya. Musibah merupakan ketetapan dari Allah SWT. Jika sudah ditetapkan pasti terjadi.
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. At-Tagabun (64) ayat 11
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang sangat toleran. Ketika bencana gempa Cianjur terjadi, seluruh lapisan masyarakat berlomba-lomba menyalurkan bantuan tanpa ada sekat atau hambatan psikologis apapun.
Reaksi ini merupakan implementasi dari hadist Nabi SAW riwayat Bukhari dan Muslim : “Tidak ada dari kamu beriman hingga dia mencintai saudaranya seperti apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” HR. Al Bukhari dan Muslim
Hadis Rasulullah SAW dari jalur sanad Anas bin Malik ini jika diterjemahkan ke dalam teori sosial, adalah bagaimana membangkitkan ‘sense of crisis’ kepada seluruh elemen bangsa untuk saling membantu jika terdapat saudara atau tetangga yang terkena dampak bencana.
Sejatinya ‘sense of crisis’ itu harus dimunculkan kapanpun dan di manapun sebagai pengamalan dari hadist Nabi tersebut karena bencana adalah cara lain Tuhan membuktikan kecintaannya kepada para hambanya. ***
Abdul Salam Elhasyim, adalah Guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kota Bekasi