JAKARTA (Pos Sore) — Masyarakat Indonesia, kini gemar sekali berselancar di dunia maya. Hampir segala aktivitas dilakukan dengan serba digital.
Hal itu dilakukan karena banyak sekali keuntungan yang disajikan oleh dunia maya bagi para penggunanya.
Namun justru, hal itu harus diwaspadai. Jika tidak hati-hati, beragam kejahatan digital hingga rekayasa sosial akan mengintai setiap pengguna untuk menjadi korbannya.
“Di sisi lain, media digital juga berpotensi untuk mendatangakan ancaman atau sering disebut sebagai cyber crime atau kejahatan siber,” kata anggota Komisi I DPR RI H. Muhammad Farhan.
Katanya, kejahatan siber adalah kejahatan di dunia maya dengan memanfaatkan jaringan komputer dan jaringan internet demi mendapatkan keuntungan dengan merugikan pihak lain.
“Salah satu kejahatan siber yang kerap terjadi adalah pencurian data pribadi,” katanya dalam webinar Ngobrol Bareng Legislator bertajuk “Kejahatan Digital dan Rekayasa Sosial”, Jumat 20 Mei 2022.
Dikatakan, jenis data pribadi yang sering diincar oleh penjahat siber adalah nama, nomor KTP, nomor HP, alamat e-mail, dan lain-lain. Data tersebut dijual di pasar gelap atau dark web.
Data-data tersebut, kata Farhan, biasanya disalahgunkan untuk pinjaman online dan bahkan penipuan online mengatasnamakan sang pemilik data.
Selain itu, banyak juga kejahatan-kejahatan lainnya. Tapi juga dapat mendatangkan kejahatan rekayasa sosial.
Kejahatan siber rekayasa sosial adalah teknik penipuan atau manipulasi dengan menggunakan pendekatan psikologi. Manipulasi ini dilakukan semenarik dan sehalus mungkin.
“Sehingga, korban secara sukarela atau tanpa sadar memberikan data-data pribadi. Media yang digunakan dalam rekayasa sosial dilakukan melalui telepon, SMS, email maupun berbagai media sosial,” terangnya.
Biasanya, lanjut Farhan, ada beberapa kondisi tertentu yang dilakukan oknum untuk memicu psikologis korban.
Mulai dari oknum mengguncang emosi korban dengan memberikan pertanyaan dramatis seperti adanya masalah dalam transaksi keuangan kita, modus mama minta pulsa, dan lain-lain.
“Ada seperti oknum mengaku sebagai pihak berwenang, di mana korban akan merespon tuntutan tersebut. Korban mengalami overloading ketika oknum memberikan informasi yang terlalu banyak, sehingga korban tidak memiliki waktu untuk mencernanya dan menjadi pasif secara mental,” terangnya.
Senada dengannya, Tenaga Ahli Komisi III DPR RI dan dosen hukum bisnis Universitas Agung Podomoro, Afdhal Mahatta SH, MH memaparkan, teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua.
“Karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum,” kata Afdhal.
Untuk sangat diperlukan kewaspadaan bagi para pengguna ruang digital. Dewasa ini, kecakapan digital juga sangat diperlukan. Hal itu dapat diperoleh jika dibekali oleh literasi digital.
Dalam hal ini, Dirjen Aptika Kemkominfo, Samuel A Pangerapan, mengatakan, pihaknya akan menjadi garda terdepan dalam penanaman literasi digital ini kepada masyarakat.
“Karena penggunaan internet perlu dibantu dnegan kapasitas literasi digital yang mumpuni agar masyarakat dapat memanfaatkan dengan produktif, bijak dan tepat guna,” jelasnya.
Sebab jika dilihat dari kondisi yang ada, tingkat literasi digital di Tanah Air kini masih belum mencapai tahap yang lebih baik.
Saat ini indeks literasi digital Indonesia masih berada pada angka 3,49 dari skala 5, yang artinya, masih dalam kategori sedang belum mencapai tahap yang lebih baik.
Angka ini perlu terus kita tingkatkan sehingga menjadi tugas kita bersama untuk membekali masyarakat kita dengan kemampuan litrerasi digital.