JAKARTA (Pos Sore) — Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang–Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang–Undang dalam Sidang Paripurna DPR RI ke– 19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021 – 2022 di Jakarta.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyampaikan apresiasi atas komitmen, sinergi, dan kolaborasi yang baik antara DPR RI, pemerintah, dan dukungan penuh dari masyarakat.
Bintang berharap Undang–Undang ini nantinya akan implementatif dan memberikan manfaat, khususnya bagi korban kekerasan seksual.
“Hadirnya Undang-Undang ini wujud nyata kehadiran Negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual,” kata Bintang, Selasa, 12 April 2022.
UU ini juga mengatur bagaimana menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual.
“Inilah semangat dan roh perjuangan kita bersama, antara DPR RI, pemerintah, dan masyarakat sipil,” lanjutnya.
Yang perlu terus diingatkan agar Undang-Undang ini nantinya memberikan manfaat ketika diimplementasikan, khususnya bagi korban kekerasan seksual.
Menteri PPPA menuturkan Pemerintah telah melakukan rapat-rapat kerja secara intensif sejak akhir Januari hingga 11 Februari 2022.
Rapat dikoordinasikan oleh Menteri PPPA sebagai leading sector. Juga bersama dengan Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM, selaku wakil Pemerintah, baik bersama-sama maupun sendiri, dalam pembahasan RUU TPKS dengan DPR RI.
Penyusunan pandangan Pemerintah dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) juga melibatkan Kementerian/Lembaga yang bidang tugasnya berkaitan dengan substansi yang diatur dalam RUU TPKS.
Pembahasan RUU TPKS oleh Panitia Kerja Pemerintah dan Panitia Kerja DPR RI dimulai sejak 24 Maret hingga 6 April 2022.
Dalam pembahasan yang berlangsung konstruktif, Pemerintah maupun DPR RI telah berupaya secara optimal menyusun Undang-Undang yang komprehensif.
Tidak multi tafsir, dan tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
“Naskah RUU TPKS kemudian ditandatangani oleh Fraksi-Fraksi di DPR RI dan pemerintah pada 6 April tersebut, yang selanjutnya diteruskan ke Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan,” ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA menambahkan beberapa terobosan dalam RUU TPKS, antara lain (1) Pengualifikasian jenis tindak pidana seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
(2) Pengaturan hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi.
(3) Pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban, dan
(4) Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.
Akhirnya setelah penantian yang sangat panjang, RUU TPKS bisa disahkan. Tentu diharapkan UU ini dapat menjadi UU yang imlementatif untuk kepentingan yang terbaik bagi korban.
Perhatian yang besar terhadap penderitaan korban juga diwujudkan dalam bentuk pemberian restitusi.
Restitusi diberikan oleh pelaku tindak pidana kekerasan seksual sebagai ganti kerugian bagi korban.
Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, maka negara akan memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan.
Senada dengan Menteri PPPA, Wakil Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya mengatakan RUU TPKS berpihak dan berperspektif pada korban.
Hadirnya RUU ini juga memberikan Aparat Penegak Hukum (APH) payung hukum yang selama ini belum ada terhadap setiap jenis kasus kekerasan seksual.
RUU TPKS juga wujud kehadiran negara dalam memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini disebut sebagai fenomena gunung es.
Negara hadir dalam bentuk dana kompensasi, juga dalam bentuk victim trust fund atau dana bantuan korban.
Ketua DPR RI, Puan Maharani mengatakan pengesahan RUU TPKS menjadi UU adalah hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia, serta wujud kemajuan bangsa Indonesia.
Undang–Undang TPKS adalah hasil kerjasama sekaligus komitmen bersama untuk menegaskan di Indonesia tidak ada tempat untuk kekerasan seksual.
“Kami berharap implementasi dari undang–undang ini nantinya akan dapat menghadapi dan menyelesaikan kasus–kasus kekerasan seksual, perlindungan perempuan dan anak yang ada di Indonesia,” ujar Puan.