JAKARTA (Pos Sore) — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dituntut untuk menguak sejelas-jelasnya aliran dana hasil korupsi Abdul Gafur Mas’ud (AGM), Bupati Penajar Paser Utara (PPU).
Dana hasil korupsi AGM itu diduga disiapkan untuk memuluskan jalannya menuju kursi Ketua Demokrat di Kalimantan Timur. Bisa jadi demikian mengingat saat ini AGM adalah Ketua Demokrat di Balikpapan.
Pemerhati politik, Emha Hussein AlPhatani prihatin atas kasus tersebut. Karena itu, ia meminta KPK untuk bekerja cepat dan profesional. KPK juga harus menyampaikan kepada masyarakat setiap langkah yang dilakukan, agar masyarakat mengetahuinya.
“Saya yakin bahwa Firli Bahuri dan anak buahnya sudah mengantongi informasi dan data tentang keterlibatan AHY dan kroninya dalam persoalan korupsi AGM ini,” katanya, Sabtu 2 April 2022.
Nur Afifah Balqis (NAB), Bendahara Demokrat Balikpapan, yang turut ditangkap, menjadi indikasi kuat dan memberikan petunjuk ada keterlibatan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kroninya dalam kasus tersebut.
“Tentu menjadi pertanyaan untuk apa AMG membawa NAB ke Jakarta dengan milyaran rupiah di tangannya kalau bukan untuk sesuatu hal yang terkait erat dengan Demokrat?” kata Emha.
Emha juga menyoroti pelaksanaan Musyawarah Daerah (Musda) dan Musyawarah Cabang (MUscab) Demokrat di beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang dipercepat oleh AHY.
Menurutnya, itu menjadi langkah strategis AHY untuk menyingkirkan semua anasir yang diduga bakal mengganjal dia dan kroninya untuk ‘bermain’.
Beberapa mantan ketua demokrat di daerah, mengakui mereka tidak mau memenuhi permintaan AHY dan kroninya untuk menyetor sejumlah besar rupiah apabila tetap ingin menjadi Ketua Demokrat.
Hal ini pula yang membuat AHY tidak segan-segan dan secara transparan menggagalkan setiap hasil Musyawarah di daerah.
AHY dan Ketua BPOKK DPP PD, Herman Khaeron dengan sengaja menetapkan kandidat ketua demokrat di daerah yang jelas-jelas kalah dalam pemilihan sebagai ketua demokrat.
Tanpa menggubris aspirasi kader yang menghendaki kandidat lain yang menang dalam perolehan suara.
Musda PD NTT misalnya, yang menang Jefri Riwu Kore (Jeriko) tetapi AHY menunjuk Leonardus Lelo menjadi ketua. Juga di DKI Jakarta, terjadi pelanggaran Peraturan Organisasi (PO) karena terdapat pencalonan ganda oleh beberapa DPC.
Akibatnya Santoso dinyatakan kalah. AHY menunjuk Mujiono sebagai ketua Demokrat DKI, padahal Mujiono didukung oleh Ketua DPC yang memiliki suara ganda.
Emha menambahkan, begitu pula yang terjadi di Demokrat Sulawesi Selatan. Ni’matullah yang hanya peroleh 9 suara bisa menjadi ketua mengalahkan Ilham Arief Sirajuddin yang mengantongi 16 suara dalam Musda.
Di Demokrat Provinsi Jawa Barat, kata Emha, Irfan Suryanagara menjadi korban berikutnya. Ia memperoleh 17 dukungan suara tetapi yang ditunjuk sebagai ketua adalah Anton Surato yang hanya mengantongi 10 suara.
Di Jawa Timur, Bayu Airlangga harus menelan pil pahit setelah tidak ditunjuk sebagai ketua demokrat di sana, padahal dia memperoleh 25 suara dari 39 pemegang hak suara. Sedangkan Emil Dardak hanya mengantongi 14 suara, tetapi Emil yang ditunjuk sebagai ketua.
“Menurut saya Partai Demokrat saat ini tidak lagi demokratis tetapi oligarkis atau struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit dan keluarga. Setiap keputusan yang diambil sebatas mau atau tidaknya keluarga yang berkuasa,” katanya.
“Terkait masalah hukum yang menjerat anak buah AHY, AGM, Bupati PPU ini, KPK harus mampu menguaknya dan tidak perlu takut pada ancaman dari berbagai pihak,” tandaa Emha.
KPK harus menelisik lebih mendalam lagi tentang penunjukan ketua demokrat di daerah yang kalah dalam pemungutan suara saat musyawarah tetapi menang dalam penunjukan oleh AHY dan Herman Kaeron sebagai dua dari tiga serangkai penentu ketua demokrat di daerah.
Besar dugaan, ‘ada udang di balik bakwan’ dalam penunjukan-penunjukan itu. Bisa saja kasusnya sama dengan apa yang dialami AGM, sayangnya ia tertangkap tangan sebelum jadi.
“KPK punya perangkat yang lengkap, sebaiknya dilakukan penyelidikan lebih mendalam terhadap persoalan ini, kalau ingin menguak kasus korupsi lebih besar lagi,” pungkas Emha.