Oleh: Emha Hussein AlPhatani (Pemerhati Politik)
SABTU 5 Maret 2022, tepat setahun pertarungan antara para senior Partai Demokrat (PD) dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan kroninya termasuk sang pangeran Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sekarang menduduki singgasana kepemimpinan di Partai Demokrat sebagai Ketua Umum.
Setahun sudah perseteruan ini berlangsung, di saat yang bersamaan, kedua kubu lagi menunggu dengan kegelisahan masing-masing terhadap hasil keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta yang sedang digelar oleh lembaga peradilan itu.
Gugatan yang dilayangkan Kubu PD versi KLB ke PT TUN sebagai kelanjutan dari keputusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) yang dikeluarkan oleh PTUN Jakarta. Gugatan itu memang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM sebagai tergugat I untuk mencabut SKnya tentang Penetapan Kepengurusan PD hasil Kongres PD 2020 yang dinilai oleh para pendiri dan kader senior partai cacat hukum karena menabrak berbagai Tata Persidangan.
Juga menggugat Menkumham agar mencabut SK yang dikeluarkannya tentang Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah (AD/ART) Tangga Partai Demokrat yang sarat dan penuh dengan klausula yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Betapa tidak, dalam AD/ART tertuang beberapa point penting yang sangat bertentang dengan UU Parpol, misalnya peranan Mahkamah Partai (MP) yang mandul karena setiap keputusannya hanya merupakan REKOMENDASI untuk Ketua Majelis Tinggi Partai (MTP), dan keputusan yang diambil oleh partai adalah hasil keputusan MTP.
Padahal dalam UU No. 2 Tahun 2011 jelas-jelas menyebutkan bahwa Keputusan Mahkamah Partai bersifat Final dan Mengikat semua pihak.
Masih banyak pasal dalam AD/ART itu yang bertentangan dengan UU Parpol.
Ironisnya, PTUN Jakarta menilai bahwa gugatan yang dilayangkan PD versi KLB adalah perselisihan partai sehingga pengadilan tidak berhak memutuskannya atau NO, padahal dalam gugatan PD versi KLB adalah menggugat Menkumham sebagai tergugat I sedangkan kehadiran PD kubu Cikeas hanya sebagai Tergugat II Intervensi.
Untuk diketahui putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil. Ini artinya, gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili sehingga tidak ada objek gugatan dalam putusan untuk dieksekusi.
Lain halnya jika putusan tersebut menyatakan bahwa seluruh gugatan dikabulkan atau dikabulkan sebagian (misalnya) dan memang sudah inkracht.
Beberapa catatan penting yang cacat pada AD/ART PD 2020, salah satunya adalah dalam Pembukaan AD/ART yang menyatakan bahwa Pendiri Partai Demokrat hanya 2 (dua) orang yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Ventje Rumangkang (almarhum) padahal sejatinya partai ini didirikan oleh 99 orang dan di antara nama-nama itu TIDAK ADA nama Susilo Bambang Yudhoyono atau keluarga Cikeas lainnya.
Mungkin karena pernah diusung dan dijadikan orang satu di negeri ini, makanya SBY dan AHY merasa ‘memiliki’ partai berlambang Bintang Mercy tersebut. Hal ini perlu diketahui oleh masyarakat umum bahwa SBY bukan Pendiri PD apalagi AHY yang baru melek politik.
Namun putusan itu harus dijalankan oleh panitera atas perintah hakim dan pihak yang menang berhak memaksa pihak lawan untuk mematuhi putusan hakim itu sesuai penjelasan Pasal 195 HIR.
Sebelum persoalan ini sampai ke meja hukum, Menkumham atas nama pemerintah menolak mengesahkan hasil KLB. Putusan itu tidak membuat Kubu PD versi KLB atau lebih dikenal sekarang dengan sebutan Kubu Moeldoko menyerah begitu saja. Mereka dengan tegar melakukan langkah hukum lanjutan atas putusan tersebut.
Maka masuklah gugatan putusan atas gugatan dengan nomor perkara 150/G/2021/PTUN-JKT dan 154/G/2021/PTUN-JKT dan dalam persidangan yang berlangsung selama beberapa bulan PTUN Jakarta memutuskan NO. Dalam bahasa hukumnya disebut niet ontvankelijke verklaard.
Maka terbuka dua opsi hukum lain yang bisa dilakukan. Pertama; memperbaiki pokok gugatan dan mendaftarkannya kembali ke PTUN Jakarta, atau kedua; melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau PT TUN Jakarta. Dan opsi yang kedua inilah yang dipilih oleh PD versi KLB.
Terkesan menggelikan tetapi mengasyikkan karena pertarungan akan terus berlanjut ke lembaga hukum di atasnya.
Timbul pertanyaan di tengah masyarakat, mengapa Jhonni Allen Marbun, Marzuki Alie dan segerbong para senior partai membuat Kongres Luar Biasa (KLB) di Deliserdang setahun lalu ? Semua itu didasari atas kecintaan kepada partai yang dengan susah payah didirikan dan dibesarkan itu dikoyak-koyak oleh SBY dan kroninya sejak 10 tahun lalu.
Kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat dinilai bikin kecewa tokoh senior di negeri ini dan internal partai tersebut. AHY sudah banyak melukai hati para senior atau orang tua di Partai Demokrat. Terlalu banyak yang menjadi korban PHP.
Akumulasi kekecewaan AHY belakangan ini kian terkuak. Dalam beberapa bulan terakhir, AHY telah pula melukai hati banyak orang tua atau orang yang dituakan. Sebab dengan ringannya AHY menyebutkan bahwa KLB yang digelar para senior sebagai kudeta di Partai Demokrat yang dibekingi oleh orang dalam istana.
Tuduhan itu tentu beralamat langsung kepada Presiden Jokowi karena hanya Presiden Jokowi yang menjadi atasan Pak Moeldoko. Sebab dalam KLB tersebut, para senior dan ratusan Ketua DPC memilih dan menetapkan jend TNI (Purn) DR. H Moeldoko sebagai Ketua Umum menggantikan posisi AHY.
Sederet nama besar di negara ini sempat tergores oleh pernyataan kubu Cikeas tersebut. Namun Presiden Jokowi menunjukkan jati dirinya dan tidak terprovokasi dengan pernyataan kubu Cikeas tersebut.
Sabtu, 5 Maret 2022, tepat setahun perjuangan para kader Partai Demokrat yang menginginkan agar partai didirikan itu kembali ke track yang benar yakni partai yang Terbuka, Demokratis dan Modern.
Semua slogan indah itu seakan ditelan bumi setelah kepemimpinan PD diambil alih oleh SBY dengan cara paksa atau “kudeta” dari tangan Anas Urbaningrum yang saat itu belum berstatus tersangka.
Situasi itu berlanjut hingga 2014 di mana SBY pun dengan jurus mautnya mengamputasi semua kader yang akan maju sebagai Ketua Umum Partai pada KLBI di Surabaya. Marzuki Alie dan I Gede Pasek harus terjungkal dari percaturan Ketum PD.
Kekinian, sejumlah nama besar di daerah yang berdarah-darah membesarkan Partai Demokrat pun harus terjungkal pula dari posisinya sebagai Ketua DPD. Sebut saja mantan Ketua DPD PD NTT, Jefry Riwo Kore (Jeriko) yang juga Walikota Kupang harus menderita kekalahan di DPP meskipun unggul di Musda DPD PD NTT. Dalam Musda Jeriko berhasil meraup 12 dari 22 suara DPC se NTT. Artinya Jeriko terpilih dan mengalahkan pesaingnya. Namun kenyataannya ? hasil itu tidak diakui di DPP.
Pertanyaannya kenapa sampai ini terjadi ? Inilah adalah buah dari pohon AD/ART produk abal-abal di luar kongres, di mana Musda dan Muscab bukan lagi Pesta Demokrasi tetapi hanya ajang bertemu untuk menentukan tiga nama yang kemudian akan ditetapkan oleh DPP (MTP, Ketum dan Ketua BPOKK) siapa yang berhak menjadi Ketua DPD atau DPC.
Pertanyaannya, apa indikator penetapannya ? Beredar kabar di dalam tubuh PD sediri bahwa penetapan itu berdasarkan besaran setoran ke DPP.
Di DPD PD Riau, mantan ketuanya yang terjungkal, Asri Auzar menyatakan kekecewaannya atas penetapan DPP PD bahwa hanya ada satu calon ketua DPD Riau yakni Agung Nugroho. Pemandangan yang memiriskan pun terjadi di Pekanbaru Riau, kader dan pengurus DPD membakar atribut partai dan menyatakan keluar dari partai demokrat.
Asri Auzar dalam sebuah rekaman video yang beredar mengatakan Bahwa AHY sudah melanggar AD/ART yang dilahirkan pada 2020. dia mengatakan bahwa AD/ART TIDAK PERNAH DIBAHAS DI KONGRES 2020.
Perkiraan bahwa kasus mahar politik ini pun sepertinya akan terkuak di KPK yang sedang memeriksa Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur yang tertangkap tangan dengan sekoper uang yang menurut dugaan akan dijadikan sebagai mahar politik ke DPP dalam rangka Musda DPD Kaltim.
Abdul Gafur adalah Ketua DPC PD Balikpapan yang lagi menyiapkan diri untuk maju sebagai Ketua DPD PD Kaltim. Dalam operasi tangkap tangan itu, terseret juga nama Bendahara DPC Demokrat Balikpapan.
Kasus serupa diduga bakal menimpa DPD dan DPC lainnya karena aturan main yang diterapkan oleh PD kubu Cikeas seperti itu. Siapa yang bisa bisa memenuhi keinginan dan kebutuhan oknum-oknum di DPP PD, dialah yang bakal terpilih sebagai Ketua DPD atau DPC.
Inilah yang ingin dibongkar oleh kader-kader senior yang saat ini sedang berjuang melalui jalur hukum. Mereka tetap mengenakan status sebagai Kader Partai Demokrat versi KLB atau yang dikenal juga dengan Demokrat Kubu Moeldoko.
hanya satu harapan mereka. Menteri Hukum dan HAM harus melihat persoalan ini sebagai persoalan bangsa, jika pemerintah menginginkan iklim partai politik yang kondusif dan demokratis di tanah air. Bukan membiarkan Partai Politik dijadikan sebagai kendaraan untuk memperkaya diri dan mengenyampingkan aspirasi kader. (**)