-0.1 C
New York
02/12/2024
Aktual Budaya Gaya Hidup

Pameran “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak” Diperpanjang Hingga 15 Maret

JAKARTA (Pos Sore) — Pameran
Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak
yang diadakan Galeri Nasional Indonesia dan Goethe-Institut Indonesien, di Galeri Nasional Indonesia berlangsung sukses dan disambut antusias pengunjung.

Setidaknya, terlihat dari periode pameran yang diperpanjang. Semula berakhir pada Minggu, 27 Februari 2022, kini menjadi 15 Maret 2022. Pameran ini sendiri dibuka sejak 28 Januari 2022.

Judul pameran ini diambil dari judul karya seni instalasi berjudul “Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak” karya seniman S. Teddy D. Karya, yang juga dipamerkan dalam pameran ini.

Untuk bisa berkunjung ke pameran ini, harus daftar online sehari sebelumnya. Pameran ini tidak dipungut biaya. Namun, pengunjung harus ditempeli label hijau. Tanpa label ini tidak bisa masuk.

Dalam dua minggu pertama pameran pada 28 Januari sampai 14 Februari 2022, lebih dari 5.000 orang yang telah memesan tiket daring dan berkunjung ke pameran.

Pameran ini bagian dari Collecting Entanglements and Embodied Histories, suatu proyek dialog kuratorial jangka panjang yang diprakarsai oleh Goethe-Institut.

Bekerja sama dengan empat institusi penting di Thailand, Singapura, Jerman, dan Indonesia — MAIIAM Contemporary Art Museum, Singapore Art Museum, Hamburger Bahnhof (bagian dari Nationalgalerie – Staatliche Museen zu Berlin di Jerman), dan Galeri Nasional Indonesia.

Jadi, pameran ini juga diadakan di Thailand, Singapura, dan Jerman. Menampilkan koleksi karya dari keempat institusi tersebut.

Setiap pameran memiliki narasi kuratorial yang berbeda. Ada Anna-Catharina Gebbers (Jerman), Gridthiya Gaweewong (Thailand), June Yap (Singapura), dan tentu saja Grace Samboh (Indonesia) — kurator Pameran “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak” ini.

Pameran “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak” ini benar-benar bertutur atau bernarasi. Bagi yang bukan pecinta seni, mungkin akan berpikir berkali-kali maksud dari karya seni yang ditampilkan.

Untuk memudahkan pengunjung mencerna maksudnya, setiap karya seni yang dipamerkan yang jumlahnya sekitar 200 itu dilengkapi dengan penjelasan. Yang dapat dibaca setelah pengunjung menscan QR yang tertempel di samping karya seni. Termasuk riwayat seniman yang dimaksud.

Sebut saja karya instalasi berjudul “Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak” karya seniman S. Teddy D. Karya yang diciptakan pada 1997 ini direproduksi pada 2021.

Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak ini dipajang di dinding layaknya lukisan. Karya ini terdiri atas beberapa balok kayu yang disusun seperti anak tangga.

Di atas tiap kayu, terdapat kepala-kepala ayam dari resin yang dibariskan seperti kelompok paduan suara dan mereka berkokok-kokok.

Kepala-kepala ayam itu berwarna kuning, seperti warna partai politik yang mendukung Soeharto lebih dari tiga dekade.

Tepat di atas kepala-kepala ayam ada potret hitam-putih sang seniman yang terpasang di dinding, seolah-olah ia adalah konduktor dari paduan suara itu.

Karya ini menggambarkan sikap dominan dalam budaya politik, yaitu ketidakmampuan untuk mengatakan tidak.

Seniman kelahiran 1971 ini konsisten berkarya dengan logika gambar. Apa yang dilihat oleh mata kemudian direkam otak sebagai beragam impresi visual.

Karya Marintan Sirait, seniman kelahiran Braunschweig, Jerman, 1960, juga berupa instalasi dan seni rupa pertunjukan berjudul
“Membangun Rumah”. Karya yang diciptakan pada 2022. Mungkin ini adalah karya terbarunya di tahun ini.

Membangun Rumah menampilkan penghayatan tubuh Marintan dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar di mana sang tubuh berada.

Panggungnya adalah sebuah instalasi gundukan tanah berbentuk kerucut yang ditata sedemikian rupa dengan pasir, abu, cahaya, dan gerak tubuh.

Pada beberapa kesempatan, Marintan turut memperkaya instalasinya dengan koran, video, musik, rempah-rempah, dan tanaman.

Ia biasanya memulai pertunjukan dengan menggambar lingkaran dari pasir yang mengelilingi masing-masing kerucut dengan ujung jarinya.

Kemudian, ia melumuri tubuhnya dengan pasir dan membuat garis dari tanah berwarna gelap, seolah menghubungkan kerucut-kerucut yang berjejer atau mengubahnya ke bentuk yang sama sekali baru.

Ada juga tiga seri sketsa Siti Ruliyati yang dipamerkan disini dibuat pada periode yang berbeda. Pertama, dari 1967, Ruliyati menggambarkan para perempuan yang sedang bekerja di sawah padi.

Sketsa-sketsa dalam seri ini disikapi oleh Ruliyati sebagai karya yang berdiri sendiri. Dengan medium sketsa, Ruliyati memperkuat objek yang ia gambarkan sebagai kenyataan yang benar-benar ia lihat.

Ruliyati hadir langsung untuk mengamati, namun ia menghilangkan dirinya dengan tidak menambah atau mengurangi pemandangan yang ia amati dengan perubahan perspektif seperti dalam karya-karya lukisannya.

Seri yang kedua dan ketiga, dibuatnya pada 1988. Hadirnya pemandangan urban dengan nafas pembangunan bisa dibaca sebagai periode yang berbeda dalam hidup Ruliyati.

Di masa ia menyusuri jalanan Jakarta untuk pergi ke rumah salah satu murid kelompok gambarnya atau mengikuti aktivitas-aktivitas lingkaran kolektor karyanya seperti Adam Malik atau Fuad Hassan.

Sebagian dari seniman yang karyanya ditampilkan dalam pameran adalah Agus Suwage, Araya Rasdjarmrearnsook, Basoeki Abdullah, Belkis Ayón Manso, Bruce Nauman, Danarto, Dolorosa Sinaga, Emiria Sunassa.

Selain itu, Ary “Jimged” Sendy, Käthe Kollwitz, Marintan Sirait, Nguyễn Trinh Thi, Öyvind Fahlström, Tisna Sanjaya, dan Wassily Kandinsky.

Pengunjung pameran juga dapat menyaksikan karya instalasi yang dibuat untuk pameran ini oleh Ho Tzu Nyen dan Cinanti Astria Johansjah.

Pameran “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak” ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenal karya-karya luar biasa dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Hamburger Bahnhof, MAIIAM Contemporary Art Museum, dan Singapore Art Museum.

Dari pameran ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pengunjung untuk dapat memaknai karya-karya di dalamnya, juga narasi sejarah yang menjadi latarnya.

Pameran yang melibatkan kerja sama antar lembaga budaya di empat negara ini menjadi media diplomasi tentang karya dan tokoh seni rupa, sekaligus lambang semangat untuk pulih dari masa pandemi.

Pameran ini merupakan pameran keempat dan terakhir dalam proyek Collecting Entanglements and Embodied Histories. Goethe-Institut berperan sebagai mak comblang dan fasilitator di antara keempat institusi seni yang telah bekerja sama dengan erat untuk mewujudkan program ini.

Apa yang dapat kita pelajari dari berbagai pertukaran tersebut? Apakah pertukaran-pertukaran itu semata gerak-gerik simbolik? Seperti apa hubungan para seniman? Betulkah terjadi pertukaran di antara para perorangan seniman ini?

Pameran ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan sarana apresiasi seni rupa bagi publik, serta semakin mempererat jejaring seni rupa internasional.

Selain koleksi keempat institusi, pameran ini juga menghadirkan pilihan karya dari Museum Seni Rupa dan Keramik – Unit Pengelola Museum Seni dan beberapa koleksi pribadi, serta arsip-arsip bersejarah.

Leave a Comment