JAKARTA (Pos Sore) — Komisi XI DPR RI menyelenggarakan rapat kerja dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas, Kamis, 3 Februari 2022 di Gedung DPR RI. Rapat ini bertajuk Evaluasi Kinerja dan Capaian Kementerian PPN tahun 2021 dan Rencana Kerja Tahun 2022.
Dalam paparannya, Menteri PPN menyampaikan indikator sasaran pembangunan yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, rasio gini, indeks pembangunan manusia, penurunan emisi gas rumah kaca, nilai tukar petani dan nilai tukar nelayan.
Atas paparan ini, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, menyampaikan beberapa catatannya. Anis menyoroti tentang kemiskinan yang capaiannya pada akhir triwulan III tahun 2021 sebesar 9,71 persen.
Dikatakan, angka itu mendekati target 2021 yang tertuang dalam perpres nomor 122 tahun 2020 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2021 yang menuangkan target angka capaian kemiskinan tahun 2021 pada 9,2-9,7 persen.
“Kita tentu bahagia dan bangga di tahun ini kita sudah kembali ke single digit setelah di awal pandemi lalu, peningkatan angka kemiskinan cukup tinggi,” kata Anis.
Namun, katanya, kita tetap harus waspada dan melihat data dari pihak lain sebagai second opinion. Dalam hal ini, kita coba lihat data yang disajikan Bank Dunia untuk melihat bagaimana kondisi Indonesia dimata Bank Dunia.
Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini kemudian memaparkan data dari Bank Dunia tahun 2019. Bahwa kelompok dengan kategori di atas garis kemiskinan adalah mereka yang memiliki pendapatan perkapita perbulan sebesr Rp 454.625,
Di atas kelompok ini, ada kelompok yang oleh Bank Dunia disebut sebagai aspiring middle class yaitu kelompok yang dianggap berada di atas garis kemiskinan tetapi belum memiliki keamanan secara ekonomi.
Kelompok ini memiliki pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 532.000 sampai Rp 1,2 juta dengan jumlah sebanyak 115 juta orang atau sama dengan 45% jumlah penduduk. Kelompok ini bisa secara cepat atau tiba-tiba masuk ke bawah garis kemiskinan.
Di bawah aspiring middle class ada kelompok yang memiliki pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 354.000 sampai Rp 532.000 dengan jumlah sebanyak 62 juta jiwa atau 25% dari jumlah penduduk.
Jadi, total keseluruhan aspiring middle class dan kelompok di bawah, mencapai 70% atau 170 juta jiwa. Mereka berada di atas garis kemiskinan, tetapi belum aman secara ekonomi karena sewaktu-waktu mereka bisa masuk garis kemiskinan.
“Data ini tentu tidak boleh diabaikan. Kita harus mencari informasi riil di lapangan, bagaimana dengan data untuk tahun ini. Apakah lebih baik, atau lebih buruk,” tutur Anis.
Hal lain yang disoroti Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengenai data indeks pembangunan manusia. Paparan Menteri PPN menyebutkan capaian IPM pada triwulan III 2021 sebesar 72,29% dari target 72,78% sampai 72,95%. Hanya sedikit di bawah target.
Namun menurut Anis, jika diurai per provinsi disparitasnya sangat besar. Sebanyak 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia memiliki IPM dibawah rata-rata nasional. Dan 10 provinsi masih berstatus sedang yang harus menjadi perhatian untuk segera ditingkatkan.
Kesepuluh provinsi tersebut adalah Lampung, NTB, NTT, Kalbar, Sulteng, Gorontalo, Sulbar, Maluku, Malut dan Papua Barat.
“Hal ini tentu harus menjadi perhatian kita semua. Jika dihubungkan dengan tingkat kemiskinan di atas, maka sepanjang tingkat kemiskinan masih seperti yang dijelaskan tadi, tentu akan mempengaruhi tingkat IPM kita,” kata Anis.
Ia pun berharap agar Menteri PPN yang merencanakan pembangunan dan mengkoordinasikan dengan kementerian lain, dapat mencari solusi yang tepat untuk masalah kemiskinan tersebut.
Masalah KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), menjadi hal lain yang disoroti Anis. Politisi senior PKS ini menyampaikan, di tahun 2021 pemerintah mentargetkan pertumbuhan investasi di KEK sebesar 6,4%, eksport 4,5% ,dan import 5,9%.
Semua itu menjadi penopang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada 2021. Hingga Desember 2021, Indonesia telah memiliki 19 KEK yang terdiri dari 11 KEK Industri, dan 8 KEK Pariwisata.
Dari daftar tersebut baru 8 KEK Industri yang sudah beroperasi dan sisanya masih dalam tahap pembangunan. Lebih lanjut biaya yang telah dikeluarkan belum memberi dampak positif bagi perekonomian.
Melansir laporan tahunan Dewan Nasional KEK 2020 yang menunjukan dari total komitmen investasi sebesar 70,4 Trilyun diseluruh KEK, realisasinya hanya mencapai 23,1 Triliun sampai Desember 2021.
“Meskipun KEK ini memberikan banyak manfaat secara sosial ekonomi, namun ada beberapa permasalahan mendasar yang muncul,” sebutnya.
Misalnya perusahaan yang terdaftar di KEK memang menyediakan lapangan pekerjaan tetapi pekerjaan yang tersedia hanya membutuhkan kemampuan dasar dan dianggap tidak memberikan kesempatan luas bagi tenaga kerja untuk mengembangkan dirinya.
Sehingga cita-cita spillover dengan menggunakan teknologi tampaknya sulit untuk dicapai. Kemudian, sulit untuk menentukan dan mengevaluasi apakah KEK telah menciptakan keterkaitan ke belakang (backward linkages) dengan industri lainnya di suatu negara bahkan suatu Kawasan. Hal ini perlu menjadi perhatian.
Terakhir, Anis mengingatkan mengenai pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Ia menegaskan PKS dalam posisi menolak RUU IKN, akan tetapi karena sudah menjadi Undang-undang, maka pelaksanaannya harus terus dikawal. A
nis mengingatkan IKN sebagai produk baru pembangunan harus memiliki studi kelayakan yang memadai dan betul-betul bisa mengangkat perekonomian Indonesia.