JAKARTA (Pos Sore) — Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) rampung menyusun hasil studi dampak pemalsuan terhadap perekonomian Indonesia tahun 2020. MIAP secara berkala melakukan Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia 5 tahun sekali.
Studi ini bekerja sama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH). Melibatkan lebih 500 responden untuk mengisi kuesioner yang disiapkan di Jakarta dan Surabaya, serta beberapa kota lainnya.
Ada cakupan 8 komoditi yang menjadi bahan studi, yaitu produk farmasi, kosmetik, barang dari kulit, pakaian, makanan dan minuman, pelumas dan suku cadang otomotif, catridge, dan software di beberapa kota besar di Indonesia.
Hasil studi ini disosialisasikan dalam diskusi virtual tentang Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual melalui Sosialisasi Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian Indonesia Tahun 2020, Selasa, 21 Desember 2021.
Dalam diskusi ini Plt Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Razilu berkesempatan memberikan keynote speak. Ia memaparkan studi dampak ekonomi pemalsuan tahun 2020.
Justisiari P. Kusumah, MIAP Executive Director, dalam pengantarnya mengatakan, studi ini sebagai salah satu upaya memahami bagaimana kecenderungan praktik-praktik pelanggaran kekayaan intelektual di Indonesia dan dampaknya terhadap perekonomian.
“Studi ini untuk terus mendorong semangat positif dalam upaya berkelanjutan penegakan perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia,” katanya.
Berdasarkan hasil rekapitulasi olah data, studi ini menemukan software masih menempati urutan tertinggi rentan dipalsukan hingga 84,25%.
Diikuti oleh kosmetik 50%, produk farmasi 40%, pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38%, makanan dan minuman 20%, serta pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15%.
“Selain data dari hasil kuesioner tersebut, kami juga menggunakan data input-output tahun 2010 Badan Pusat Statistik sebagai rujukan,” tambah Henry Soelistyo Budi, perwakilan IEALP UPH.
Data pemalsuan ini menunjukkan seberapa besar kecenderungan permintaan terhadap produk palsu/ilegal di pasar.
Secara nominal, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh peredaran produk palsu tersebut mencapai lebih dari Rp 291 triliun, dengan kerugian atas pajak sebesar Rp 967 miliar, dan lebih dari 2 juta kesempatan kerja.
Melalui update tersebut, MIAP mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk tidak menyerah dalam setiap upaya yang dilakukan dalam memberantas pemalsuan.
Yanne Sukmadewi, Sekretaris Jenderal MIAP, menambahkan, dari studi ini, MIAP berharap dapat memberikan manfaat dan gambaran bagi para pelaku usaha atau industri secara luas.
“Sekaligus juga dapat menjadi masukan untuk menstimulasi langkah-langkah perbaikan dari semua pemangku kepentingan untuk terus bekerja sama menghadirkan ekosistem yang lebih aman bagi masyarakat,” katanya.
Sejauh ini, pemerintah telah berupaya secara serius dan terus menerus melakukan tindakan dan menyusun kebijakan untuk memberantas produksi dan peredaran produk palsu.
Dari segi regulasi, pemerintah dan DPR RI telah menyusun Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis untuk menggantikan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Demikian juga penggantian Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2012 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 6 Tahun 2019 tentang Perintah Penangguhan Sementara (PERMA).
Substansi Perma ini menjadi salah satu instrumen operasional di samping Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
Dari segi operasional, Peraturan Pemerintah Tahun 2017 ini telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan sebagai landasan pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencegah peredaran barang palsu melalui kepabeanan.