BANYAK sisi yang dapat diulas terkait pembentukan poros partai – partai politik usai Pileg 9 April. Berdasarkan hasil perhitungan cepat yang mendekati kenyataan, tak satu partai pun — termasuk PDI Perjuangan yang tadinya sesumbar — mampu mencapai hasil minimal, yaitu 20 persen kursi di parlemen (DPR) atau 25 persen suara secara nasional.
Angka-angka 20 dan 25 persen itu adalah syarat minimal capaian yang diharuskan undang-undang bagi partai politik untuk bisa mengajukan sendiri calon presidennya. Sebagai konsekwensi tak tercapainya angka minimal di atas, semua Parpol diharuskan bekerjasama atau berkoalisi. Maka terjadilah suasana saling menjajagi, saling melobi dan saling mendekati. Itulah suasana yang berkembang hingga hari ini.
Selain PDI Perjuangan dan Partai Nasdem yang sejak pagi — begitu hasil perhitungan cepat berbagai lembaga kredibel diumumkan – langsungnya menyatakan berkoalisi, 10 Parpol peserta pemilu lainnya masih tetap hanya sebatas menjajagi pembentukan koalisi. Hingga beberapa hari sebelum hasil resmi Pileg diumumkan KPU, semua masih menjajaki, tak ubahnya sedang menggoreng sesuatu, yang salah-salah bisa gosong.
Peta politik pasca 9 April menunjukkan – sebagaimana dipetakan hasil berbagai survey sebelumnya — hanya ada dua atau tiga poros politik yang masing-masing akan mengusung calon presidennya. Poros PDIP-Nasdem yang akan mengusung Joko Widodo alias Jokowi, poros Gerindra dengan bakal capres Prabowo Subianto, dan poros Golkar dengan bakal capres Aburizal Bakrie. Poros lain yang diwacanakan, ternyata hanya sebatas wacana.
Tapi — entah mungkin menyadari tingkat elektabilitasnya yang rendah – belakangan Ketua Umum Golkar yang juga capres partai itu merapat ke Gerindra. Lucunya, terjadilah apa yang dapat kita sebut sebagai upaya ’’mencocok-cocokkan’’ platform partai, mencocok-cocokan visi dan misi partai. Sayup-sayup para petinggi kedua partai menyatakan tenyata platform serta visi dan misi mereka sama. Pertanyaannya kemudian adalah, apa benar platform serta visi dan misi kedua partai itu memiliki kesamaan
Rakyat sebagai pemilih hanya tahu, sejak awal Gerindra senantiasa menggelorakan semangat memperjuangkan dan mempertahankan Pasal 33 UUD 1945. Rakyat juga tahu, paling tidak selama 10 tahun belakangan ini Golkar adalah penopang utama pemerintahan koalisi gemuk pimpinan SBY yang cenderung mengabaikan pasal 33 dimaksud. Lalu pertanyaan berikut adalah, apakah koalisi semata demi sebuah koalisi?
Apakah Gerindra akan larut dan melupakan janjinya memperjuangkan dan mempertahankan Pasal 33 UUD 45 tersebut jika kelak memenangkan ‘’pertarungan’’ dan berhasil memerintah?
Pertanyaan ini mendasar, dan sebenarnya menjadi pertanyaan bagi semua Parpol yang kemudian akan menentukan langkahnya, berkoalisi dengan poros mana. Khusus bagi Gerindra, pertanyaan ini sangat urgen mengingat partai inilah satu-satunya yang berani mengumandangkan dan menggelorakan semangat Pasal 33 tersebut.
Kita paham, bahwa alasan utama Parpol-parpol berkoalisi saat ini adalah untuk mencapai angka syarat minimal pencalonan presiden. Jika itu sudah tercapai, alasan berikutnya adalah kepentingan masing-masing peserta koalisi, siapa mendapatkan apa. Karena itulah barangkali, setelah berkoalisi dengan Nasdem – dan angka persyaratan minimal tercapai – PDIP /Jokowi terlihat tidak begitu terbebani harus membentuk koalisi gemuk. Apalagi harus tawar-menawar soal platform perjuangan yang sejak awal sudah diyakininya. Toh, pada akhirnya pada Pilpres nanti rakyat hanya memilih figur capres, bukan berdasarkan partai.
Langkah PDIP/Jokowi ini kita harapkan disadari dan diikuti Gerindra/Prabowo. Tak sepantasnya Ketua Umum Golkar coba-coba mendikte Gerindra. Kalau toh harus berkoalisi, berjanjilah akan bersama memperjuangkan Pasal 33 UUD 45. Juga, Golkar harus menyodorkan figur lain yang bukan calon presiden, tapi calon wakil presiden. Itu saja. (ras)