SAAT ini sebagian khalayak masih berasumsi bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah Pendiri Partai Demokrat, padahal sejatinya SBY bukan pendiri dan baru bergabung dengan Partai Demokrat secara resmi pada tahun awal-awal pendirian partai demokrat setelah dia dengan lugas menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan Partai Demokrat yang kala itu masih berumur jagung.
Dalam sebuah rekaman video, SBY dalam sambutannya mengatakan Ijinkan Saya Bergabung Menjadi Anggota Partai Demokrat. Dalam Akta Pendirian Partai Demokrat pun nama Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada demikian juga dengan nama salah satu keluarga Cikeas.
Yang lebih memiriskan hati, tatkala PD dideklarasikan pada 17 Oktober 2002, di Jakarta Hilton Convention Center, SBY tidak hadir, dia malah memilih untuk menghadiri deklarasi Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dengan Ketuanya Ryaas Rasyid dan Sekjen Andi Alfian Malarangeng. Bisa dipastikan bahwa ketika itu, SBY tidak memandang sebelah matapun kepada PD melainkan lebih fokus pada PDK.
Disadari atau tidak, Partai Demokratlah yang berhasil membesarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan bukan sebaliknya sebagaimana terpatri di benak sebagian khalayak yang belum diberikan pencerahan di mana disebutkan SBY lah yang membersarkan Partai Demokrat. Kenyataannya, PD lah yang membesarkan SBY sehingga bisa menjadi Presiden RI dua periode.
Untuk diketahui, usai Kongres Bali yang digelar di Ballroom Inna Hotel Sanur, Bali pada 23 Mei 2005, di mana terpilih Hadi Utomo, adik ipar Ibu Ani Yudhoyono sebagai Ketua Umum dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina, tidak sekalipun SBY mendatangi kantor DPP Partai di Jalan Pemuda, sebuah gedung yang merupakan asset property Johnny Allen Marbun yang ketika itu menjabat Ketua Bidang OKK (Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi). Figur yang satu ini akan kita bahas pada lain episode bagaimana perjuangannya membesarkan Partai Demokrat semenjak awal hingga kini.
Lantas, atas dasar apa, SBY ingin menjadikan PD sebagai partai keluarga ? Tentunya pembaca bisa memperkirakannya, sampai-sampai dia menempatkan dirinya sebagai Ketua Majelis Tinggi sepanjang usia. Ada yang sempat berkelakar bukan Ketua Majelis Tinggi tetapi Ketua Majelis Ketinggian, saking besarnya peranan SBY dalam menentukan arah partai, sekaligus mempertajam peranan kedua pangerannya.
Betapa tidak, jika Ketua Majelis Tinggi Berhalangan maka sebagai gantinya adalah Wakil Ketua Majelis Tinggi yang dalam hal ini adalah Ketua Umum yakni AHY. Dan jika AHY berhalangan maka sebagai gantinya adalah Wakil Ketua Umum dalam hal ini Ibas.
Belum lagi kalau kita membedah peranan Mahkamah Partai (MP). Di tubuh Partai Demokrat, MP hanya sekadar pajangan yang mandul. Keputusan MP tidak lagi bersifat final dan mengikat secara internal sebagaimana diamanatkan UU. No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik tetapi hanya sebatas Rekomendasi yang keputusannya ditentukan oleh Ketua Majelis Tinggi.
Kesemuanya ini tertuang dengan jelas dan transparan apabila AD/ART Partrai Demokrat dibedah secara utuh. Konon kabarnya, menurut para saksi mata peserta Kongres V PD tahun 2020, sama sekali tidak ada pembahasan tentang Perubahan AD/ART. Jadi, semua argumemtasi PD Kubu AHY yang menyebutkan AD/ART sudah final dan dibahas pada Kongres V PD, adalah Pembohongan Publik yang sengaja ditebarkan untuk memuluskan peranan dinasty Cikeas di Partai Demokrat.
Besarnya peranan Ketua Majelis Tinggi dalam tubuh Partai Demokrat menjadikan Bintang Mercy ini sangat bergantung pada keputusan dan titah SBY. Inilah awal Partai Demokrat yang Demokratis menjadi Partai Tirani dan oligarki. Betapa tidak, mekanisme organisasi ditebas habis hanya untuk memuluskan karier anaknya yang dikorbankan dari militer untuk berkiprah di politik.
Membentangkan Karpet Biru kepada Agus Harimurti Yudhoyomo (AHY) hanya beberapa saat setelah pengunduran dirinya dari TNI AD dengan pangkat Mayor. Bentangan karpet biru ini sempat menjadikan suasana dalam istana cikeas kurang harmonis, karena pangeran Cikeas lainnya, Eddi Baskoro Yudhoyono (Ibas) merasa bahwa karier politiknya ditelikung oleh kakaknya sendiri atas perintah dan restu sang ayah dan bunda.
Untung saja saat itu, dikabarkan almarhumah Ibu Ani mampu mengatasi kemelut itu sehingga kekisruhan dalam istana cikeas bisa terbendung dan tidak menjadi santapan publik. Namun Ibas sempat kecewa dan tidak banyak memberikan komentarnya, karena dia lebih mengedepankan kesehatan ibunya.
Bentangan Karpet Biru kepada AHY, pun nyaris terjadi di National University Hospital (NUH) di Singapura. Dikabarkan oleh petinggi PD ketika itu, dalam satu kesempatan SBY mau menyerahkan jabatan Ketua Umum PD kepada AHY tanpa melalui mekanisme persidangan sebagaimana lazimhya sebuah partai politik yang demokratis.
Untung saja, petinggi partai demokrat ini menyatakan ketikdaksetujuannya jika pelimpahan jabatan, tugas dan wewenang ketua diserahkan kepada AHY yang saat itu hanya menjabat Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) PD.
Merujuk pada realita di atas, tentunya gugatan kader yang tergabung pada PD versi KLB Deliserdang, Sumut di PTUN Jakarta dengan nomor 150/G/2021/PTUN.JKT dan 154/G/2021/PTUN.JKT sangat bedasar dan patut menjadi pertimbangan, karena niat tulus para kader ini adalah untuk mengembalikan marwah Partai pada Khitohnya sebagai Partai yang Terbuka, Demokratis dan Modern. (**)
Oleh : Emha Husein Alphatani (Pemerhati Politik)