JAKARTA (Pos Sore) — Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan keberhasilan penyelenggaraan negara Indonesia ditentukan oleh tata kelola negara yang baik dan kuat, yang juga ditunjang oleh tata nilai dan tata sejahtera. Lemahnya tata kelola negara, diyakini akan mendorong terjadinya negara yang gagal.
“Penguatan terhadap ranah tata kelola sangatlah penting bagi kelangsungan hidup sebuah Negara,” tegasnya dalam Fokus Diskusi Kelompok atau Focus Group Disscusion virtual bertema Tata Kelola Negara Berdasarkan Paradigma Pancasila, Rabu (11/8/2021).
Mengutip pandangan Roterberg (2002) dan Noam Chomsky (2006), Pontjo menegaskan, negara bisa gagal karena lemahnya tata kelola negara. Antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi-institusi demokrasi serta mempertahankan hak-hak warga negaranya.
Pontjo menilai pentingnya ruang bagi partisipasi rakyat secara aktif dalam kegiatan politik dan ekonomi. Karena itu, arah pembangunan tata kelola negara harus ditujukan juga untuk pemberdayaan rakyat melalui pengembangan partisipasi segenap elemen bangsa dalam berbagai bidang pembangunan.
Usaha ini dapat dimulai dari pengembangan partisipasi rakyat dalam politik melalui perbaikan lembaga perwakilan dengan memperhatikan aspek keterwakilan (bukan hanya keterpilihan), perbaikan sistem Pemilu, peningkatan kapasitas wakil rakyat, serta perbaikan tata kelola perencanaan pembangunan nasional.
Menurutnya, desain besar ketatanegaraan tentu harus berpijak pada ideologi dan dasar-dasar filosofis tujuan bernegara yaitu Pancasila yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. Karena itu, Pancasila harus menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Azyumardi Azra, yang menjadi narasumber, mengatakan Indonesia saat ini memerlukan kepemimpinan berbasis Pancasila untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Terutama dalam kepemimpinan publik, baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
“Kepemimpinan tersebut bertitik tolak dari lima sila dalam Pancasila yang mana pemimpin tidak hanya berteori dan mengimaninya, tetapi juga mempraktikkan nilai Pancasila dalam kepemimpinan dan kebijakan yang dibuatnya,” kata Cendekiawan Muslim ini.
Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) yang juga Rektor UGM Prof Panut Mulyono mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keragaman suku, bangsa, budaya, agama secara geopolitik dapat menimbulkan banyak masalah dan tantangan.
Terlebih di era reformasi kerap muncul intoleransi, korupsi, kasus narkoba dan kekerasan yang masih terus saja terjadi. Ini menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa kita kehilangan jatidiri dan karakter kebangsaannya.
Karena itu, kita harus mulai menguatkan kembali sikap dan perilaku dengan menjiwai Pancasila, sehingga sebagai bangsa yang heterogen dapat mencapai kemajuan yang pesat sesuai cita-cita yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.
“Pancasila sebagai dasar falsafah, ideology dan pandangan hidup wajib diaktualisasikan dalam proses dan produk perundangan serta kebijakan penyelenggaraan negara,” kata Prof Panut.
Selain Prof Azyumardi Azra, hadir pula narasumber lain yang memberikan pandangannya, yaitu Prof Siti Zuhro (Peneliti LIPI), Prof Eko Prasojo (Wakil Menteri PAN & RB), dan Prof Muradi (Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad).
Serial FGD itu sendiri diselenggarakan dalam rangka finalisasi buku berjudul “Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila”. Buku ini hasil rangkuman dari berbagai pemikiran dan gagasan yang berkembang dalam pelaksanaan Diskusi Serial selama hampir tiga tahun sejak 20 Maret 2019.
FGF terselenggara hasil kerjasama Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan Harian Kompas. (tety)