17/11/2025
AktualNasional

Penguasaan Teknologi Mendesak bagi Bangsa Indonesia

JAKARTA (Pos Sore) — Aliansi Kebangsaan bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YSNB), Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) kembali mengadakan Focus Group Discussion (FGD) terkait buku berjudul “Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila”, yang ditulis secara bersama-sama.

FGD bertopik “Mewujudkan Kesejahteraan Umum yang Berkeadilan” yang diadakan Jumat (6/8/2021) ini, untuk mendiskusikan bagian tiap BAB dari buku tersebut untuk memperkaya substansi dari buku yang sedang ditulis. dalam rangka finalisasi buku

Hadir sebagai narasumber Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE, MS, DEA (Guru Besar Ekonomi IPB University), Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, Dipl.Ing., M.B.A, Amalia Adininggar Widyasanti, Ph.D (Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian PPN/Bappenas, Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika (Guru Besar Universitas Brawijaya), dan Eka Sastra (Wakil Ketua Umum BPP HIPMI).

Ikut memberikan pengantar Ketua Forum Rektor Indonesia yang juga Rektor UGM Prof Panut Mulyono, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Satryo Soemantri, Ketua BPP HIMPI Mardani H Maming, pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latief, dan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo

Dalam pengantarnya, Pontjo Sutowo, menyampaikan, penguasaan teknologi bangsa Indonesia memang masih ketinggalan dibanding negara-negara lain. Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia dapat diketahui dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional.

Karena itu, bangsa Indonesia harus segera melakukan transformasi diri dari perekenomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis sains dan teknologi (Knowledge Based Economy). Transformasi tersebut dibutuhkan agar Indonesia segera menjadi negara maju, sejahtera, mandiri dan berdaulat dalam bidang ekonomi serta berdaya saing global.


“Mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan penguasaan teknologinya yang memang saat ini masih ketinggalan karena kebijakan dan strategi ekonomi berbasis sains-teknologi-inovasi memiliki keunggulan dan keuntungan kompetitif berkelanjutan,” katanya.

Menurut Pontjo, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) juga telah menyebabkan terjadinya transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumberdaya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan sains dan teknologi (Knowledge Based Economy). Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.

Menghadapi perubahan paradigma ini, negara-negara Barat dan beberapa negara Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, konsisten mengerahkan sejumlah besar sumber-dayanya untuk menguasai Iptek yang pada ujungnya akan mengangkat kualitas hidup dan kesejahteraan bangsanya.

“Negara yang tidak mempunyai basis iptek yang kuat, akan bergantung bahkan berpotensi ditelan oleh kemajuan negara-negara lain, sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif kekayaan sumber daya alam ternyata belum mampu menjadikannya sebagai keunggulan kompetitif dan mewujudkan kesejahteraan yang kita cita-citakan,” urainya.

Sampai saat ini di beberapa sektor pembangunan ekonomi Indonesia, masih berbasis sumber daya alam. Gustav Papanek pada suatu diskusi ekonomi di Jakarta pada tahun 2014 mengatakan bahwa Indonesia terlalu terlena dengan kekayaan sumber daya alamnya sehingga disebut mengalami penyakit belanda (dutch disease).

Ketergantungan pada Teknologi Luar
Ketergantungan Indonesia terhadap teknologi luar juga masih sangat tinggi. Kondisi inilah menjadi salah satu penyumbang bagi rendahnya tingkat kemandirian dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) bangsa indonesia dalam percaturan global.

Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia antara lain disebabkan belum terbangunnya ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, birokrasi, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Sinergi dan kolaborasi kelembagaan “triple-helix” antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai.

Dunia usaha yang memiliki peran strategis bahkan seharusnya menjadi motor dalam pengembangan inovasi teknologi lanjut Pontjo, juga masih ketinggalan baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Padahal, dunia usaha berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Tanpa dunia usaha inovasi teknologi tidak akan berkembang.

Peran strategis inilah yang seharusnya selalu disadari oleh dunia usaha kita. Pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggungjawab atas kemajuan teknologi bangsa ini. Untuk itu, ada kebutuhan “road-map” pengembangan dunia usaha kita.


Bangsa Indonesia juga masih menghadapi kendala budaya (kultural). Sebagaimana diungkapkan oleh Simon Philpot dalam bukunya: “Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity (2000”) 2, yaitu ketidakmampuan menciptakan ‘imajinasi kultural’ (cultural imagination). Dalam buku tersebut, Simon menilai bangsa Indonesia kurang mampu membangun imajinasi komprehensif yang dituangkan ke dalam visi bangsa. Bangsa tanpa imajinasi akan hidup di dalam bingkai imajinasi orang lain.

Prof Erani dalam FGD pada Oktober 2020, telah mengusulkan agar bangsa Indonesia menghilangkan mindset “kesejahteraan yang diperoleh dengan cara penguasaan sumber daya alam” yang akan melahirkan kolonialisme dan imperialisme (merkantilisme). Harus diakui, sebagian besar dari masyarakat kita masih beranggapan teknologi itu identik dengan manufaktur, “digitalisasi”, bahkan sebatas penggunaan internet dan komputer.

Menurut Pontjo, visi iptek sangat diperlukan untuk mendorong dan mengikat semua pihak ke dalam kesatuan langkah pembangunan iptek, membuat kebijakan dan memperjelas posisi penetrasi Iptek ke dalam pembangunan. Beberapa negara seperti Cina, Korea, India, bahkan Malaysia yang saat ini mempunyai basis Iptek yang kuat, dimulai dengan meletakkan visi iptek yang benar sehingga kebijakan-kebijakan ipteknya menunjang. (tety)

Leave a Comment