-0.1 C
New York
02/12/2024
Aktual

Ditjen HAKI Perlu Susun Pedoman Perhitungan Ganti Rugi Sengketa Merek

JAKARTA (Pos Sore) — Hakim Agung MARI
Dr. Ibrahim, menyangsikan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata mampu dijadikan dasar dalam menyelesaikan persoalan ganti rugi sengketa merek. Pasal ini lebih diarahkan kepada kepentingan properti yang tangible (nyata).

“Tangible bisa kita lihat faktor kerugian apa yang dipertimbangkan. Setelah diperhatikan UU no 20 tahun 2016 (UU Merek), saya tidak melihat tipe kerugian yang dipertimbangkan dalam gugatan,” kata Dr. Ibrahim dalam webinar MIAP (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan) di Jakarta, Jumat (28/5/2021).

Jika memakai pasal 1365 KUH Perdata, maka ekspektasi pemilik merek tidak tercapai ketika dia tidak mampu tentukan variabel apa saja yang dipertimbangkan. Karena itu, diperlukan guideline dari Dirjen HAKI sebagai pedoman dalam menghitung dan menentukan kerugian agar pemilik merek terdaftar bisa peroleh haknya yang dituntut, dan hakim akan kabulkan tuntutan kalau bisa dibuktikan.

Ia menambahkan perlu juga untuk melihat best practice di beberapa negara yang sudah berlakukan pedoman untuk menghitung kerugian. Pernah di kasus Honda dan ada perusahaan motor China karena gunakan merek yang sama yaitu Karisma dan Krisma. Perintah pengadilan hentikan produksi motor tersebut.

“Tapi apakah itu cukup? Tujuan hentikan pelanggaran itu penting untuk meminimalisir kerugian,” katanya seraya menambahkan, persoalan saat ini adalah kurangnya jenis kerugian yang dipertimbangkan sebagai hal yang bisa dituntut.

Tidak ada rincian kriteria. Ada baiknya UU 20 ini diamandemen dan dirincikan apa saja yang bisa dituntut. Ketua MA beri surat edaran yang berisi petunjuk teknis mengenai kerugian apa saja yang dituntut.


Sementara itu, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Albertus Usada menegaskan, inti hukum merek adalah sebagai pelindung merek terdaftar dengan prinsip first to file. Maka dalam UU No 20 Tahun 2016, ditentukan kaidah hukum pemilik merek terdaftar, dapat mengajukan gugatan ke pihak lain yang menggunakan merek yang sama dengan pokoknya untuk barang dan jasa sejenis.

“Bisa gugatan ganti rugi dan penghentian penggunaan merek,” ungkap Albertus dalam kesempatan yang sama. Namun, ia mengingatkan dalam praktik atau fakta persidangan, gugatan itu berkemungkinan menjadi prematur, mengingat akan berpotensi adanya tumpang tindih keputusan nantinya. Sebut saja misalnya gugatan dikabulkan namun permohonan merek juga dikabulkan. Pada akhirnya tidak akan ada yang menang di dalam perkara tersebut.

Untuk itu, menurut Albertus, harus jelas posisi pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek untuk barang dan jasa sejenis, dan atas perbuatan apa pihak kedua gunakan merek tanpa ijin dari merek terdaftar. “Saya kira dengan acuan pada MIAP, kita susun strategi isu hukum, juga gugatan ganti rugi,” jelas Albertus.

Memang MA sejak 2019 telah menerapkan sistem kamar dan sudah ke arah ke best practice yang diharapkan. Namun, lanjut Albertus, dalam UU Merek belum ada pedoman besaran ganti rugi karena belum diatur sedemikian rupa apakah itu juga menyebabkan pihak pemilik merek terdaftar membatalkan merek tanpa ganti rugi.

“Ini menarik. Nanti penilainnya apa untuk tentukan besaran ganti rugi? Jadi ada kelemahan dalam UU No 20. Apakah surat edaran MA atau ada kekosongan hukum bisa dalam Peraturan MA (PERMA), karena ganti rugi harus diperinci dalam perdata umum, apakah bukti sah yang diajukan?” pungkas Albertus.

Dia menambahkan, perlu menjadikan praktik gugatan ganti rugi di negara lain sebagai acuan. Sebab, dalam gugatan, penggugat harus dapat buktikan jika perbuatan itu memang merugikan pemilik merek.

Albertus merinci beberapa kemungkinkan kerugian yang diderita pemilik merek terdaftar, antara lain hilangnya keuntungan termasuk lisensikan ke pihak lain, hilangnya reputasi di pasaran, dan jumlah ganti rugi sangat bergantung pada kebijakan hakim.

Sebagaimana kita ketahui pada peraturan perundang-undangan, kewenangan untuk melakukan pemeriksaan merek dan pemberian persetujuan atas pendaftaran merek hanya dimiliki oleh Direktorat Merek dan Indikasi Geografis pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Maka, apakah putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan ganti rugi tersebut dapat dikategorikan melewati batas wewenang?

Karena itu, Justisiari P. Kusumah – Executive Director MIAP menegaskan, pentingnya best practice terkait gugatan ganti rugi pelanggaran merek, dengan mempertimbangkan sudut pandang hukum Indonesia dan praktik internasional.

“Perlu didiskusikan karena tidak saja untuk tujuan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak terkait terutama pemilik merek, tetapi juga sebagai informasi yang bermanfaat bagi para pelaku usaha dan masyarakat,” jelasnya. (tety)

Leave a Comment