JAKARTA (Pos Sore) — Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) menggelar MIAP eTalk, diskusi virtual berjudul “Kupas Tuntas Merek Terkenal di Indonesia”. Diskusi yang membahas bagaimana tolak ukur sebuah merek didefinisikan atau dikategorikan sebagai merek terkenal.
Diskusi ini menjadi sangat menarik mengingat perkara merek atau sengketa merek di Indonesia saat ini didominasi oleh gugatan pembatalan merek dan/atau gugatan ganti rugi atas pelanggaran merek terkenal.
“Perselisihan penggunaan merek dalam kegiatan usaha marak terjadi, termasuk di Indonesia. Bentuk pelanggaran sendiri salah satunya adalah penggunaan suatu merek milik pihak satu oleh pihak lainnya secara tanpa hak kerap kali ditemukan,” kata Dr. Cita Citrawinda Noerhadi, S.H., MIP, praktisi Kekayaan Intelektual, Rabu (24/3/2021).
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris, menyampaikan, di Indonesia, untuk mengidentifikasi apakah suatu merek merupakan merek terkenal, harus berpedoman pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU Merek”).
Selain itu, juga harus berpedoman pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (“Permenkumham 67/2016”) yang secara spesifik mengatur mengenai kriteria dari merek terkenal.
“Tolak ukur dalam mengkategorikan suatu merek sebagai merek terkenal tentunya memakan waktu yang tidak singkat. Dalam hal ini, pemilik merek harus dapat membuktikan bahwa mereknya merupakan sebuah merek terkenal dengan jaminan kualitas atau reputasi atas merek tersebut.” ungkap Freddy Harris.
Namun demikian, pertimbangan dan pandangan hakim atas suatu kriteria merek terkenal seringkali berbeda, mengingat pada praktiknya, kriteria atas keterkenalan suatu merek bisa saja berpedoman selain dari ketentuan UU Merek dan Permenkumham 67/2016 (misalnya berdasarkan best practice secara global/TRIPS Agreement).
Perbedaan tolak ukur yang digunakan Hakim dalam penetapan status merek terkenal sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya dalam implementasi Permenkumham 67/2016.
Teddy Anggoro, Ketua Komisi Banding Merek, Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, DJKI – Kemenkumham, memambahkan, sebagaimana diketahui, suatu putusan Hakim dalam penetapan status merek terkenal dapat menjadi yurisprudensi dan acuan dalam menetapkan suatu merek sebagai merek terkenal.
Sehingga, bila ada acuan yang digunakan kurang tepat, misalnya penetapan merek yang memiliki unsur kata umum sebagai merek terkenal, hal tersebut sangat berpotensi menghalangi pihak lainnya dalam menggunakan merek dengan unsur kata umum yang sama. Secara teori hukum, penggunaan kata umum seharusnya tidak dapat diberikan kepada satu pihak secara eksklusif.
Kriteria penetapan sebuah merek menjadi merek terkenal tentunya sangat dipengaruhi oleh banyak substansi yang telah diatur oleh tata aturan yang berlaku di Indonesia. Karena itu, larangan penggunaan kata umum oleh pemilik merek terkenal kepada pihak-pihak tertentu tentunya berpotensi untuk menimbulkan praktik usaha yang seolah-olah menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
“Kami berharap melalui diskusi virtual ini dapat memberikan gambaran dan pemahaman yang semakin komprehensif, baik bagi para pelaku usaha serta pemerhati kekayaan intelektual seperti konsultan KI dan akademisi tentang kriteria merek terkenal yang berlaku di Indonesia,” kata Yanne Sukma Dewi, Sekretaris Jenderal MIAP menutup jalannya diskusi. (tety)