Oleh MPU WESI GENI
BAGIAN SATU
TERSEBUTLAH dalam pewayangan, bahwa gunung Himoloyo adalah pusat Kerajaan Gaib di dunia pada ribuan tahun yang lalu. Karena Gaib mengatakan, di mana gunung yang tertinggi, di sanalah daratan mulai muncul sebagai tempat tinggal makhluk. Maka, yang Gaib pertama kali menyusun kekuatan di tempat itu sebelum Adam dan Hawa terusir dari Sorga.
MANGGIR berpesan kepada isteri yang ditinggalkannya, ‘’Aku akan pergi bertapa ke gunung berapi. Bila sekiranya ada keturunanku yang mencariku, suruh dia menyusul ke sana.’’
Tak seorang pun yang mengetahui yang mana gunung berapi tempat Manggir bertapa, karena ada berpuluh gunung berapi di pulau ini. Manggir sendiri bertapa sampai ratusan tahun. Sungguh pun demikian, dia dapat mengirimkan rohnya, untuk sesekali menggauli isterinya dengan cara gaib, sehingga sang permaisurinya, Ratu Perangin-angin pun dapat juga berbadan dua.
Ketika hamil itu, sang permaisuri pun berdoa, ‘’Jika suamiku menguasai gunung dan daratan, sedangkan aku penguasa Laut Selatan, semoga anakku berkuasa kepada keduanya!’’
Seorang pun tidak ada yang mengetahui siapa dan dari mana sesungguhnya kedatangan Manggir ke pulau ini.
Namun sebenarnya ia datang dari Baghdad. Ketika kota itu dihancurkan oleh Jhengis Khan dan Timur Lenk, Tuhan tidak membiarkan seluruh sejarah itu terpendam dan hilang begitu saja. Walaupun 200 bukit kepala manusia yang dipenggal dikumpulkan di sekeliling Baghdad, Manggir bisa lolos dari siksaan dewa dari dataran tinggi Mongolia itu.
Sebenarnya Manggir datang ke pulau ini dengan selembar permadani, yang menumpang pada sebentuk awan gaib.Manggir telah terlebih dulu menduduki, sebagai seorang yang ditentukan sebagai penyebab sejarah besar dari agama Tuhan. Tapi kedatangannya itu serentak pula dengan kedatangan patung Al Atha yang dikeluarkan dari India bersama awan kemupus. Patung tersebut datang bersama seperangkatan orang yang memujanya. Bersamaan dengan gerhana matahari total pada waktu itu diturunkanlah Al Atha bersama seluruh pemujanya.
Manggir pun dihadapkan pada kenyataan yang ada, bahwa bukan dia sendiri saja yang menguasai pulau ini, yang bentuknya memang telah ditentukan berbentuk naga. Maka ketika anak yang dikandung permaisurinya Ratu Perangin-angin lahir, bentuknya pun seperti naga, yang semakin lama semakin besar melebihi perkembangan makhluk biasa, dan diberi nama Nagasastra.
Sang naga pun berjalan mencari di mana ayahnya, merayapi seluruh gunung, sehingga gerak langkahnya terasa juga sampai ke tempat Manggir yang sedang bertapa untuk mendinginkan seluruh gunung api yang ada di pulau ini. Langkah naga itu menggetarkan permukaan bumi, menyebabkan gunung-gunung terancam meletus. Karenanya Manggir merasa terganggu kebulatan hatinya bertapa.
‘’Hai ibuku, tunjukkan di mana ayahku! Mengapa aku tak seperti manusia biasa, sehingga tak seorang makhluk pun yang mau begaul denganku? Aku akan mencari ayahku dan meminta tubuhku seperti manusia biasa!’’
Teriakan-teriakan itulah yang selalu digaungkan Nagasastra, sebagai tanda penasarannya.Kalau sudah begini, Permaisuri Perangin-angin pun tidak dapat menjawab. Karena ia sendiri juga sebagai wadah dari benih yang dipancarkan Manggir telah mencetak naga yang sebenarnyalah di luar kemampuannya.
Penasaran tak mendapatkan jawaban dari ibunya, si naga perkasa pun terus berkelana keseluruh gunung mencari ayahnya. Dari mulai pulau Bali, Blambangan, sampai ke seluruh kawah yang belum terbuka, dikoyaknya. Banyaklah kemudian gunung berapi yang menganga karena dibongkar si naga.
Yang terakhir sekali, sang naga sampai di ujung perjalanan. Pada sebuah gunung berapi yang terletak di tepi pantai. ‘’Ayahku! Ayahku! Aku datang….’’ pekik Nagasastra.
Tiada jawaban, karena Manggir sedang menguatkan tapanya untuk mengunci seluruh gunung yang terancam meletus disebabkan ulah sang Nagasastra yang mengobrak-abrik puncak-puncak gunung mencari ayahnya.
‘’Ayahku, aku datang…’’ Gaung teriakan sang naga kembali bersipongang, sambung menyambung dipantulkan dari satu pebukitan ke perbukitan lain.
Tak terlalu lama, Manggir pun mulai terusik.’’Siapa itu yang mengaku sebagai anakku?’ ’
‘’Aku, Nagasastra, anak permaisuri Perangin-angin,’’jawab Nagasastra, sambil mulai mengibaskan ekornya bersiap-siap akan menaiki gunung tempat Manggir bertapa.
‘’Berhenti dulu!’’ Bentak Manggir. ‘’Kakimu akan dapat merusak tempat aku bersamadhi di sini.’’
Ketika itu, sebenarnya Manggir sedang mengadukan nasibnya kepada takdir Tuhan. Kalau sebenarnya Nagasastra ini memang anaknya, mengapa Tuhan mentakdirkan demikian? Namun di samping pengaduannya, terbuka pulalah oleh Manggir sebuah rahasia yang sebelumnya tidak disadarinya: siapa sesungguhnya Ratu Perangin-angin, isterinya itu. Sesungguhnyalah, sang permaisuri adalah jelmaan gaib, dari patung Al Atha, berujud seorang perempuan, dan sangat cantik.
Manggir telah mengambil langkah, mencampur-adukkan yang gaib dan yang kasar. Yang putih dengan yang hitam. Tapi yang terjadi kini adalah ancaman baru terhadap seluruh penduduk pulau ini di masa yang akan datang.
Hikayat menyebutkan, sebahagian puncak gunung Himoloyo yang dipindahkan menjadi pulau ini, bekas rontokan itu, kini ditutupi dengan salju yang putih. Jika diperhatikan dari udara, berbentuk Naga Putih, terbuat dari es.
‘’Kalau kau benar anakkku dari permaisuri Perangin-angin, coba lilitkan badanmu ke sekeliling gunung ini. Jika sampai, kau kuakui sebagai anakku,’’ujar Manggir dari tempat pertapaannya.
Sang naga pun mulai merambatkan tubuhnya kesekeliling gunung tempat ayahnya bertapa, sehingga pohon dan batu-batu besar berguguran.Sekuat tenaga mengulurkan badan, Nagasastra terus merapatkan tubuhnya ke gunung berapi. Tanah pun menjadi retak-retak.
Cara demikian malah membuat Manggir jadi ragu-ragu dan merasa terancam, memungkinkan gunung tempatnya bertapa dapat remuk dililit Nagasastra.
Tetapi, yang terjadi kemudian, lilitan itu tidak sampai. Tak beradu kepala dan ekor Nagasastra sungguh pun sebagian tubuhnya sudah masuk ke badan gunung karena kuatnya sang naga melilit .‘’Belum sampai!’’ ujar Manggir.
‘’Kalau demikian kau bukanlah anakku, Nagasastra! Carilah jalan agar lilitan tubuhmu sampai. Tapi jangan lagi kau cengkamkan tubuhmu ke daging gunung ini. Bisa-bisa gunung ini akan meletus dan aku terancam di atasnya. ’’
Nagasastra menitikkan air mata mendengarkan perkataan Manggir, ayahnya. Ia julurkan lidahnya untuk menggapai ekor yang masih berjarak dengan kepalanya. Berusaha mati-matian memenuhi permintaan sang ayah. Namun si ayah ternyata berpikiran lain. ‘’Curang kau…’’ hardik Manggir. (Bersambung/ras)