SEBUAH harian memberitakan perselisihan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Isunya: putri Ketua Umum PDIP yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu partai itu, Puan Maharani, mengusir Jokowi dari kediaman Megawati di Kebagusan setelah keluarnya hasil hitung cepat pemilu legislatif. Alasannya, “efek Jokowi” dianggap tidak mampu membuat perolehan suara Partai Banteng mencapai target 27 persen.
Berita eksklusif ini akhirnya menjadi konsumsi berbagai media nasional, setelah petinggi PDI Perjuangan sendiri membantahnya, bahkan mengancam akan menuntut secara hukum.Terlepas dari benar-tidaknya isu tersebut, yang cukup menarik untuk diulas melalui forum ini adalah adanya perdebatan — atau lebih tepat diskursus — yang muncul pasca hari pencoblosan (9/4) terkait pengaruh seorang tokoh maupun pimpinan partai dibanding partai itu sendiri. Diskursus inilah yang kemudian memunculkan variabel efek ketokohan yang dalam konteks Pileg 2014 disebut sebagai Jokowi Effect, Prabowo Effect, Rhoma Effect dst.
Sebenarnya, perkiraan atas efek ketokohan ini sudah dimunculkan oleh lembaga-lembaga survey dalam kegiatan mereka mengukur tingkat keterpilihan (elektabilitas) partai maupun tokoh sebelum Pileg berlangsung. Namun bisa jadi, efek ketokohan ini tak begitu diperhatikan kalangan pengurus partai. Baru setelah hasil Pileg diumumkan – berdasarkan hitung cepat — dan ternyata di luar perkiraan bahkan ada yang mengecewakan, efek ketokohan ini mendapat perhatian serius.
Terkait PDIP, kalangan ‘’lawan’’ pun memunculkan statemen: ternyata efek Jokowi tak menunjukkan kebenaran. Menyangkut Gerindra dikatakan: efek ketokohan Prabowo dengan konsepnya yang jelas, tegas, dan sejak jauh-jauh hari sudah dikumandangkan sebagai calon presiden . Sementara akan halnya PKB disebutkan: Itu bukti efek Rhoma Irama, dkk.
Efek ketokohan ini sebenarnya juga sudah diungkapkan dengan bahasa lain oleh kalangan pengamat sebelum Pileg berlangsung. Sebut Hanta Yudha dari Pol-Track Institute, yang melihat belakangan ini terjadi presidensialisasi partai. Yakni, sebuah kondisi ketika kepercayaan rakyat kepada partai makin menurun drastis dan kembali kepada kekuatan figur. Parahnya, menurut Hanta, figur partai menguat, tapi institusionalisasi partai terus melemah. Barangkali hal ini memang bisa menjelaskan, kenapa suara PKB naik drastis (2009 = 4,49 %; 2014 = 9,13 % ) dan Gerindra (2009 = 4,46 % ; 2014 = 11,75 %). Namun tentu hal itu tak bisa dilihat hitam-putih. Figur Rhoma dkk dan Prabowo menguat, tentu tak berarti institusionalisasi di kedua partai itu melemah.
Sebab, selain PKB dan Gerindra, dapat dikatakan semua peserta pemilu – kecuali PKS dan Demokrat – mengalami kenaikan perolehan suara walau angkanya tipis. PDIP sendiri mengalami kenaikan sebesar 5,23 persen dibanding Pemilu 2009. Tapi apakah karena kenaikan yang tak setinggi Gerindra dan PKB ini lantas kesalahan bisa dialamatkan kepada Jokowi yang baru belakangan bari diumumkan jadi capres?
Menyalahkan Jokowi sungguh tidak adil. Bagaimana kalau dibalik, tanpa Jokowi, atau Jokowi diumumkan jadi Capres setelah Pileg berlangsung – sebagaimana skenario DPP PDIP sebelumnya – apakah mungkin perolehan suara PDIP naik?
Atau, apa jadinya perolehan suara PDIP apabila Jokowi tidak diumumkan jadi capres? Apa jadinya suara PDIP tanpa Jokowi?
Kita bisa saja katakan, suara PDIP anjlok. Mungkin karena kinerja aparat partainya yang kurang, atau karena citra PDIP yang kader-kadernya juga tak lepas dari terpaan isu korupsi sebagaimana Demokrat dan PKS. Ingat, PDIP adalah juga bagian dari parpol lain yang secara keseluruhan performance-nya semakin tak dipercaya rakyat. Pengurus PDIP jangan merasa hebat sendiri. Ini kritik. (***)