JAKARTA (Pos Sore) — Secara legal formal, operasionalisasi keterlibatan TNI dalam menghadapi terorisme ternyata belum memiliki payung hukum operasional berupa Peraturan Presiden yang menjadi amanat dari payung hukum UU No 5 tahun 2018 tentang Penanggulanan Terorisme.
Kendalanya, menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Prof Dr Benny Riyanto SH MHum CN, ada di bagian penjelasan pasal 43 huruf I ayat (3) yang menyebutkan, pembentukan Peraturan Presiden dalam ketentuan ini, dilakukan setelah berkonsultasi dengan DPR RI.
“Berkonsultasi dengan DPR, bukan harus mendapatkan persetujuan,” ujar Prof Benny Riyanto dalam Webinar “Peran TNI Mengatasi Aksi Terorisme dalam Menjaga Kedaulatan NKRI”, yang diadakan Sekolah Tinggi Hukum Militer, di Jakarta, Rabu (11/11/2020).
Diskusi yang dipandu Dr Prastoko SH MA, ini menghadirkan para pembicara yaitu ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Dr Maria Farida Indrati SH MH, Rektor Universitas Ahmad Yani Prof Hikmahanto Juwana.
Pembicara lainnya, pakar Hukum Pidana yang juga Guru Besar di Pusdiklat Kejaksaan Agung, Prof Dr Indriyanto Seno Adji SH MH, dan dosen FH Universitas Indonesia Dr Edmon Makarim SKom SH. Sementara itu, Kolonel KH Dr Ali Ridho SH MM sebagai penanggap.
Prof Benny Riyanto mengungkapkan, saat ini, TNI melalui Kementerian Pertahanan sedang mengajukan rancangan Perpres terkait tindak lanjut tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Terlebih terorisme merupakan tindak pidana ekstraordinari yang bisa mengancam stabilitas bangsa dan negara.
Sebenarnya, katanya, keterlibatan TNI sudah diatur secara jelas dan tegas dalam Undang-undang TNI yaitu UU no: 34 tahun 2004. Ayat (1) Pasal 7 UU tersebut menjelaskan bahwa TNI memiliki tugas pokok.
Kemudian ayat (2)-nya menyebutkan, tugas pokok itu dilakukan melalui dua cara yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang (OMSP). Dalam operasi militer selain perang, poin 3 menyebutkan untuk mengatasi terorisme.
Dinamika internasional pelibatan militer secara terbatas dalam pemberantasan terorisme, menurut Prof Benny Riyanto, sebenarnya bukan hal baru. Di dalam beberapa literatur secara umum, setiap negara yang menghadapi ancaman terorisme memberikan ruang keterlibatan militer.
“Keterlibatan itu dilakukan dengan militerisasi penuh atau bantuan terhadap otoritas penegak hukum. Kemampuan militer ini sangat dibutuhkan untuk penanggulangan terorisme,” ujarnya.
Prof Maria Farida mengakui, bagian Penjelasan UU no.5/2018, pasal 43 huruf I ayat (3) seperti menyandera Presiden dalam membuat Perpres, karena ada ketentuan pembuatan Perpres dilakukan setelah berkonsultasi dengan DPR. Karena setelah konsultasi dilakukan sampai sekarang belum membuahkan hasil. Padahal seharusnya perpres itu, paling lama setahun setelah peraturan itu diundangkan, harus sudah selesai.
Ia pun menyarankan, agar lebih intens melakukan konsultasi dengan DPR agar Perpres itu bisa segera selesai. Ia juga mengungkapkan paling tidak ada dua langkah lain yang bisa ditempuh, namun memang membutuhkan waktu lama. “Kedua langkah itu adalah memajukan perubahan atas UU no 5/2018 dan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi,” sebutnya.
Secara lebih lugas lagi, Prof Hikmahanto mengatakan penyelesaian Perpres tersebut menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan saat ini. Bukan saja karena proses pembuatannya sudah telat dua tahun, namun evolusi terorisme juga berlangsung sangat cepat yang bisa mengancam kedaulatan negara.
“Repot kalau Perpres tidak keluar-keluar. Apakah memang perpres itu harus ada konsultasi ke DPR, memang kalau di bagian penjelasannya ada di sana tetapi tidak sampai berlama-lama juga,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam sambutan pembukaan webinar, Ketua STHM Brigjen TNI Dr Tiarsen Buaton SH LLM mengatakan, peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak perlu menjadi masalah, bila masing-masing stakeholder penanganan aksi terorisme, mengerti tentang batas kewenangan masing-masing.
“Tugas TNI adalah menegakkan kedaulatan, sedangkan polisi bertugas untuk menegakkan hukum. Apabila terorisme bersenjata sudah mengancam kedaulatan NKRI, maka menjadi tugas TNI mengatasinya. Namun, bila ancaman terorisme tersebut masih bersifat verbal terhadap kedaulatan NKRI, maka menjadi tugas Polri untuk menegakkan hukumnya,” ujarnya.
Pelibatan TNI, dalam memberatas aksi terorisme merupakan keniscayaan, karena sejalan dengan tugas pokok TNI, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang No 34 tahun 2004 tentang TNI.
Pasal tersebut menyebutkan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Selanjutnya 7 ayat (2) tersebut juga menyebutkan, tugas pokok TNI adalah operasi militer perang dan operasi militer selain perang (OMSP), yang salah satu tugas OMSP nya pada pasal 7 ayat (2) huruf b angka (3) disebutkan tugasnya adalah mengatasi aksi terorisme, di samping tugas mengatasi separatisme bersenjata, pemberontakan bersenjata dan tugas lainnya dalam konteks OMSP.
Substansi utama perpres terorisme mengacu pada UU no:5/2018 tentang Perubahan atas UU NO: 15/2003, tentang penetapan Perpu No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 43 huruf I ayat (2) undang-undang terorisme tersebut, yang rumusannya dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI.
Penjelasan pasal 43 huruf i ayat (3) menyebutkan, yang dimaksud dengan dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia adalah tugas pokok dan fungsi sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, yang mengatur mengenai tentara Nasional Indonesia dan undang-undang yang mengatur mengenai pertahanan negara.
“Dengan demikian apabila mengacu pada tugas pokok dan fungsi TNI tersebut, maka substansi pokok dari perpres adalah penangkalan, penindakan dan pemulihan,” ujarnya. (tety)