JAKARTA (Pos Sore) — Negara Indonesia dibentuk sebagai negara kekeluargaan yang inklusif, yang memberikan ruang kepada keberagaman dan bukan perseorangan, atau kelompok/golongan. Karena itu, sudah semestinya lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk juga harus mencerminkan keterwakilan kedaulatan seluruh rakyat secara menyeluruh.
Begitu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam pengantarnya pada serial Focus Group Discussion virtual bertema “Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila”, yang diadakan Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jumat (10/7/2020).
Sayangnya, kata Pontjo, yang terjadi lembaga perwakilan rakyat dalam hal ini DPR, lebih mempresentasikan keterwakilan partai politik. Padahal mendelegasikan kedaulatan rakyat kepada keterwakilan kepartaian berisiko menimbulkan kedaulatan rakyat di bawah kendali persorangan atau golongan yang kuat.
Pontjo tidak menampik, keterwakilan melalui partai politik memang sudah menjadi sangat umum terjadi. Tetapi berbagai kalangan merasa keterwakilan melalui parpol telah mengabaikan kepentingan dan kekuatan lain yang ada di dalam masyarakat.
Kondisi tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi di negara Indonesia. Negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi pun mengalami persoalan serupa. Sebut saja India. Negara tersebut lalu menyiasatinya dengan mengikutsertakan Lok Shaba yang mewakili majelis rendah dan golongan budaya, kesusastraan serta pekerja sosial sebagai majelis tinggi untuk merepresentasikan keterwakilan kelompok minoritas dan kelompok yang membutuhkan perlindungan.
Ia juga mencontohkan bagaimana proses demokrasi yang terjadi di Filipina pada 1980-an pasca jatuhnya Presiden Corazon Aquino, ternyata hingga saat ini tidak menghasilkan kemajuan siginifikan bagi perekonomian negara tersebut. Sebaliknya di India, proses demokratisasi di negara tersebut diprediksi bakal mendorong India menjadi negara besar.
Pontjo menilai demokrasi di Indonesia telah dibajak oleh kaum oligarkis yang berlindung di balik partai politik. Kondisi tersebut terjadi akibat absennya ideologi dalam kehidupan politik di tanah air bahkan saat reformasi telah dilakukan.
“Akibatnya pemilu yang mestinya menjadi ajang demokrasi untuk memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kemaslahatan rakyat, malah menghasilkan lembaga perwakilan rakyat yang cenderung mewakili parpol dan bukan merepresentasikan kepentingan masyarakat,” tukasnya.
Merujuk pada sejarah ontologis negara Indonesia, pembentukan negara Indonesia yang dikehendaki adalah negara kekeluargaan inklusif yang bisa memberikan ruang kepada segala keragaman bukan negara perseorangan atau golongan.
Dengan konsep kekeluargaan maka prinsip demokrasi Indonesia adalah demokrasi permusyawaratan yang dipandang sejalan dengan pokok pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945. “Prinsip demokrasi seperti ini harus tercermin dalam pembentukan lembaga perwakilan rakyat,” lanjut Pontjo.
Atas dasar itulah maka timbul pemikiran untuk membentuk lembaga perwakilan yang terdiri dari tiga unsur perwakilan. Yakni perwakilan parpol, utusan golongan dan perwakilan daerah.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Arif Satria, yang menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, menyampaikan demokrasi akan mampu mendorong ekonomi negara menjadi maju. Tentu saja membutuhkan prasyarat lain yang harus dipenuhi, misalnya kematangan sosial, kondisi politik dalam negeri dan sebagainya.
“Jadi poin saya adalah demokratisasi akan dapat mendorong ekonomi sebuah negara menjadi maju, dengan prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi,” jelas Arif.
Ia berpandangan, jika Pancasila menjadi pilar yang dipegang teguh, maka semua praktik bernegara juga harus berdasarkan nilai-nilai dari Pancasila. Karenanya, evaluasi terhadap proses demokrasi harus tetap mengacu pada landasan nilai-nilai Pancasila.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie menilai perlu mengevaluasi reformasi yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Misalnya dalam hal utusan golongan yang kini sudah dihapuskan setelah ada amandemen UUD 45. Utusan golongan ini isunya dianggap diangkat oleh presiden. Padahal bisa saja melalui proses pemilihan
Katanya, negara yang menggunakan sistem keterwakilan bikameral seperti Inggris dan Amerika Serikat memiliki dua kamar legislatif atau parlemen. Di Inggris, sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Dewan Bangsawan (House of Lords) dan Dewan Rakyat (House of Commons).
Di Amerika Serikat, sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat (Senate) dan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) dimana masing-masing mempresentasikan keterwakilan partai politik dan utusan daerah.
Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.
“Kalau utusan golongan mau dihidupkan lagi, boleh-boleh saja, termasuk mengevaluasi keberadaan MPR, DPR dan DPD,” lanjut Jimly yang menurutnya keterwakilan Daerah (DPD) kurang memiliki fungsi. Sebab, DPD pada praktiknya justru melenceng dari cita-cita awal ketika dibentuk.
Sesuai tugasnya DPD semestinya mengajukan usul rancangan undang-undang (RUU), pembahasan RUU, pertimbangan atas RUU dan pemilihan anggota BPK, serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang. Nyatanya, lembaga ini dibentuk sebagai tempat berhimpunnya tokoh-tokoh daerah yang membawa aspirasi dari daerah dan non partisan. Sekarang sudah partaisasi.
“Harus ada desain makro untuk memperbaiki DPD. Desain itu berupa pengubahan konstitusi menghidupkan kembali GBHN,” kata Jimmly yang juga anggota DPD dari DKI Jakarta periode 2019-2024, yang mengaku ingin memperbaiki DPD dengan cara memberikan peran bagi DPD dalam menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara yang kini belum dipegang oleh DPR.
Saat ini, ungkapnya, kerja DPD tidak jelas, tapi sibuknya luar biasa. DPD yang mempunyai anggaran setahun Rp 1,2 triliun dan per bulannya Rp 100 miliar dan itu harus dihabiskan. Dengan hidupkannya kembali GBHN, maka DPD memiliki pernanan strategis.
DPD dapat menjadi penentu kebijakan saat Presiden dan DPR berseberangan dalam menghasilkan produk legislasi berupa Undang-undang. Sebagaimana diketahui dalam UU menyebutkan Presiden mempunyai hak veto sehingga dapat menolak UU yang disahkan DPR. Bila DPD memiliki peran strategis, maka DPR dapat meminta perseteujuan DPD untuk menbuat RUU tersebut menjadi UU.
Demikian juga ketika Presiden mengusulkan UU dan ditolak DPR, maka DPD dapat dimintai persetujuannya. “Tapi ternyata susah memperbaiki DPD. Saya menyarankan DPD diubah jadi ad hock saja, sehingga dipilih oleh DPRD. Saya juga setuju utusan golongan di MPR diangkat lagi,” tandasnya.
Peneliti LIPI Siti Zuhro mengatakan 22 tahun reformasi telah menghasilkan perjalanan demokrasi dengan keterwakilan yang rancu dan parpol yang belum sehat. Dan ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi. “Konstruksi berbangsa dan bernegara Indonesia sejauh ini belum mencapai bentuk yang ideal dan final,” tandas Siti Zuhro. (tety)