BERANGKAT dari keprihatinan banyaknya hasil panen ketela yang tak terjual – kalau terjualpun harganya pasti sangat murah, Karsiyatun mengasah kembali ilmu yang dia miliki sekaligus mengajak sejumlah warga di lingkungannya terutama kaum ibu untuk mengolahnya. Awal kiprahnya di usaha itu, Karsiyatun banyak mengalami hambatan teruma masalah pendanaan dan kemauan para ibu untuk memulainya.
Desa Segulung, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun Jawa Timur terkenal sebagai sentra produksi ketela yang potensial, Poduksinya bisa mecapai 10 ton setiap bulannya. Melimpahnya hasil panen itu tidak berimbang dengan penjualannya. Alhasil produksi yang berlimpahruah tersebut hanya bisa dimanfaatkan untuk dimakan atau dibiarkan membusuk.
Ketika musim panen tiba, harga jual ketela yang semula Rp500 per kilogram anjlok drastis sampai Rp200 per kilogram. Hasil panen pun tidak bisa terjual habis karena banyaknya stok dipasaran.
Berbekal pengetahuan mengolah ketela yang diwariskan secara turun temurun sejak 1955, muncul ide di benak Karsiyatun untuk memanfaatkannya. “Mungkin solusi terbaik yang bakal saya ambil adalah mengolah ketela menjadi kripik yang tentunya pasarnya cukup luas.”
Berawal dari rumahnya, Karsiyatun menyuguhi cemilan kepada para tamu yang mendatangi rumahnya. Kebetulan suami Karsiyatun adalah Kepala Desa di Desa Segulung. “Enak bu, kenapa nggak diproduksi yang banyak saja bu?” komentar beberapa tamu yang mencicipi kripik ketela buatan Karsiyatun itu. Sambil memikirkan komentar para tetamu, Karsiyatun pun selalu mengole olehkan kripik buatannya kepada para tamu untuk dibawa pulang. Tanpa dia sadari pola yang dipakai itu merupakan sistem promosi yang jitu.
Dari situlah sejumlah tamu baik dari lingkungan desanya hingga Kabupaten Madiun selalu memesan kripik buatannya sebagai buah tangan untuk tamu tamu dari Ibukota Provinsi maupun Jakarta. Kesempatan itu tidak disia siakan Karsiyatun. Dia mencoba mengembangkan bersama kaum ibu desanya.
Satu per satu para ibu didatanginya untuk mengajak bekerjasama sekaligus meyakinkan mereka tentang peluang bisnis ini. Serempak ajakan Karsiyatun mendapat sambutan para ibu. Sekitar 20 orang ibu bergabung dengannya untuk memulai usaha tersebut. “Saya turunkan ilmu yang saya punya untuk mereka. Untuk mencegah agar mereka tidak ngerumpi saya pisahkan mereka dalam beberapa kelompok kdecil,” tuturnya sambil mengenang masa masa sulit itu.
Lahirlah kelompok “Putri Wilis” yang memproduksi kripik ketela. Dalam setahun mereka bisa memproduksi 160 kg kripik ketela dengan bahan baku 1,6 ton ketela yang juga merupakan hasil pertanian desa sendiri.
Karsiyatun mulai mendatangi toko makanan dan oleh oleh untuk menjajakan hasil produksi “Putri Wilis”. Kesulitan baru mulai menghantui Karsiyatun, karena tidak semua toko mau menerima produksi mereka, padahal produksinya masih melimpah di rumah. Dari tahun ke tahun kesulitan terus mendera, hingga 1997 secercah harapan mulai terlihat dengan diperolehnya izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun yang langsung dicantumkan di setiap kemasan kripik.
Pada awal dekade 2000an produksi “Putri Wilis” berhasil menembus Toserba di Madiun. Konsumen dari Jakarta, Surabaya, Sidoarjo mulai memesan dalam jumlah besar. Bahkan melalui TKW asal Madiun yang akan keluar negeri kripik ketela buatan ibu ibu Desa Segulung di bawa.Pendapatan pun muklai meningkat. Setiap kilogram kripik terrjual Rp7000 atau beberapa kali lipat dari harga menjual sekilogram ketela yang hanya Rp200 – Rp500.
Kini, kripik ketela produksi Karsiyatun dengan “Putri Wilis”nya mudah didapat di toko toko makanan dan souvenir baik di wilayah Jawa Timur maupun Jakarta. Saat ini petani ketela di desa Segulung pun, tidak lagi merasa was was saat musim panen tiba sebab, para istri mereka siap menampung hasil panen tersebut untuk dijadikan kripik ketela.
Keceriaan yang semula menjadi pemandangan yang jarang terlihat dari pancaran wajah warga desa itu kini berubah. Senyum bahagia terpancar apalagi saat musim panen tiba.
Keseriusan, menurut Karsiyatun adalah modal utamanaya untuk meraih sukses bersama kaum ibu di desanya. Maju Terus bu ….. (hasyim husein)