POS SORE – Munculnya fenomena Satrio Piningit di tengah masyarakat yang melambangkan kerinduan rakyat akan hadirnya pemimpin yang kuat dan bijaksana, terutama pasca Pileg dan Pilpres nanti, dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Terutama di saat rakyat sedang merasa bahwa selama ini para pemimpin yang muncul lebih banyak menunjukkan kepalsuan, dengan memoles berbagai gerak langkah melalui upaya pencitraan.
Demikian benang merah percakapan Pos Sore dengan peneliti Indonesia Media Monitoring Center (IMMC), Sunardi Panjaitan, dan politisi muda dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah, terkait munculnya fenomena Satrio Piningit di tengah masyarakat selama satu tahun terakhir ini. Kedua nara sumber dihubungi terpisah, pekan ini, dan sebenarnya lebih banyak bicara tentang kondisi kehidupan berbangsa dewasa ini.
Fahri mengatakan, sebenarnya rakyat sudah bosan atau sudah muak dengan kondisi maupun perilaku para pemimpin sekarang. Rakyat sudah eneg (muak).
Sementara Sunardi menunjuk, semakin banyaknya bencana alam di Indonesia dan terjadi beruntun, meraja lelanya korupsi, serta pemimpin yang dinilai tidak lagi peduli dengan rakyatnya, membuat sebagian rakyat berpaling ke arah sesuatu yang pernah diramalkan Jayabaya, yaitu akan munculnya sosok Satrio Piningit sebagai pemimpin.
Pro dan Kontra
Fenomena Satrio Piningit secara khusus menjadi bahan penelitian Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) sepanjang satu tahun terakhir (Maret 2013- Februari 2014). Sementara politisi paranormal, Permadi, pekan lalu secara khusus juga mengungkapkan hasil terawangannya, bahwa presiden yang bakal muncul adalah seorang yang tidak diduga sebelumnya (Satrio Piningit) dan bukan berasal dari nama-nama yang sering disebut di media massa belakangan ini, termasuk Jokowi (Baca Pos Sore edisi ketiga).
IMMC melakukan monitoring secara khusus tentang fenomena Satrio Piningit di sosial media. Monitoring dilakukan terhadap media warga www.kompasiana.com. Metode yang digunakan adalah purposive sampling dengan menganalisa semua artikel yang berkaitan dengan “SatrioPiningit” dalam rentang waktu Maret 2013 – Februari 2014. Dalam satu tahun terakhir, ada 175 artikel yang ditulis oleh Kompasianer (para penulis di media social itu-red) tentang sosok Satrio Piningit. Hasil riset menunjukkan, 80 persen publik menyakini bahwa sosok Satrio Piningit akan muncul. Sedangkan 20 persen menyatakan tidak akan muncul.
Terhadap kemunculan Satrio Piningit, memang terjadi pro-kontra. Kalangan yang pro menyebut hadirnya sosok Satrio Piningit karena berkaitan dengan ramalan Joyoboyo. Sementara pihak yang kontra menilai sosok Satrio Piningit hanyalah dongeng atau konsep belaka. (Baca: Satrio Piningit, Jokowi atau Prabowo?)
Parpol Krisis Figur
Sunardi mengungkapkan, di saat masyarakat begitu merindukan kehadiran sosok Satrio Piningit, partai politik justru sedang mengalami krisis figur yang sesuai dengan harapan rakyat. Menurut Sunardi, untuk menutupi hal tersebut dan agar seolah mengesankan parpol memiliki sosok Satrio Piningit, maka partai politik mencoba mencari jalan pintas. Salah satunya adalah memunculkan figur parpol yang dikaitkan dengan Satrio Piningit. Hasil penelitian IMMC memang menunjukkan, Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang sering dipanggil Jokowi, mendominasi hampir semua identifikasi satrio piningit yang ada.
Mayoritas Kompasianer mengidentifikasi Jokowi sebagai sosok yang dicintai rakyat, jujur dan sederhana. Sementara Prabowo Subianto menempati peringkat kedua setelah Jokowi. Identifikasi utama Prabowo, yakni sosoknya yang dicintai rakyat, tegas, dan sederhana.
Namun baik terhadap Jokowi maupun Prabowo, Sunardi tidak menyebut bahwa pengidentifikasian Kompasianer terhadap dua tokoh itu merupakan hasil pemunculan yang dilakukan partai politik. Satrio Piningit yang juga diidentikan dengan Ratu Adil merupakan sosok yang dilambangkan sebagai pemimpin yang dicintai rakyat, kuat dan bijaksana, jujur, serta sederhana. Fenomena Satrio Piningit menjadi tempat pulang bagi mereka yang merindukan figur seorang pemimpin yang kuat.
Mengenang kembali perjalanan Republik sejak mundurnya Presiden Soeharto, Fahri Hamzah menyampaikan bahwa disadari maupun tidak, memori rakyat akan kepemimpinan yang kuat masih sangat kental. Sejak dimulainya era reformasi, tambah Fahri, belum ada presiden yang mampu menunjukkan kekuatan kepemimpinan itu, di antaranya karena masa jabatan yang relatif sebentar.
Fahri mengaku, dulu sempat menduga SBY yang berlatar belakang militer mampu menunjukkan kekuatan kepemimpinan itu, namun di luar ekspektasi malah semakin mengendur. Dalam konteks adanya kecenderungan pemanfaatan isu Satrio Piningit yang justru dilakukan oleh kelas masyarakat yang berpendidikan, Fahri menyatakan bahwa kebebasan yang dienyam rakyat selama reformasi harus diakui telah mengubah ekspektasi masyarakat akan sosok seorang pemimpin. “Harapan akan kepemimpinan yang kuat mungkin kini telah bergeser kepada kepemimpinan yang efektif, tidak perlu populis, tapi cukup dengan melihat hasil kerjanya saja, dan mengerti public mood” kata politisi yang terkenal vocal itu.
Sayangnya apa yang disampaikan Fahri pun sepertinya tidak dapat dipenuhi oleh mereka yang justru memiliki kekuatan dominan politik nasional. Alih-alih memantapkan kinerja, pencitraan yang makin menguat. Yang bekerja benar malah tenggelam. “Ya itulah, Rakyat sudah eneg!”
Kondisi sekarang ini, seperti diakui Fahri Hamzah, sudah sedemikian parahnya. Meruyaknya upaya pencitraan sebagai senjata utama kompetisi politik saat ini sudah sampai pada taraf yang tidak wajar. Rakyat sudah eneg (muak).
“Semua makin terasa palsu”, imbuhnya. “Sayangnya baik masyarakat maupun para pemimpinnya tidak memiliki pemahaman atau sudah terlarut arus. Seperti kita memakai permata palsu tidak ada yang protes, namun ketika kita memakai permata asli pun tidak ada yang memuji karena tidak tahu bedanya,” demikian Fahri Hamzah (lya)