“Saya amati lagi yang lain, lalu saya tiru, eh tidak laku juga. Saya lalu introspeksi diri kalau begini terus pasti ada yang salah. Sejak itu, saya mulai memperbaiki apa yang harus diperbaiki,” ucapnya.
Irwan lantas berpikir bagaimana jamu bisa diterima masyarakat luas seperti halnya produk farmasi yang mendapat dukungan dokter. Mungkin produk Tolak Angin kurang mendapat tempat karena di Indonesia saat itu belum ada istilah “masuk angin”.
Orang masih bertanya-tanya apa itu masuk angin. Di KBBI juga belum ditemukan istilah masuk angin. Istilah ini juga tidak ada dalam dunia medis.
Kondisi ini menjadi tantangan terbesar bagi Irwan. Bagaimana bisa membuktikan produk jamu Sido Muncul berkhasiat.
Saat itu, bukti bahwa jamu berkhasiat hanya berdasarkan, pengalaman hidup, dan dari mulut ke mulut. Jamu bisa menyembuhkan tetapi tidak ada bukti ilmiah yang mendukung bahwa produk jamu itu bagus.
Sementara produk farmasi dipercaya karena ada dukungan dokter. Produk farmasi juga rasional dan aman.
Sedang jamu adalah produk yang tidak rasional. Dikatakan tidak rasional karena untuk mengobati darah tinggi misalnya, ramuan jamu boleh dicampur anggur. “Lho darah tinggi kok boleh minum anggur. Ini nggak rasional,” tuturnya.