JAKARTA (Pos Sore) — Murid-murid Marlupi Dance Academy (MDA) kembali mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional dengan menyabet beberapa medali dalam kompetisi di ajang Asian Grand Prix yang digelar pada 5-12 Agustus 2017 di Hong Kong.
Tujuh penari balet perempuan (balerina) murid MDA — salah satu sekolah balet tertua Indonesia yang didirikan Ny. Marlupi Sijangga pada 1956, berhasil menyabet juara. Mereka meraih medali terbaik di kategorinya masing-masing yakni 3 medali emas, 1 perunggu, 2 penghargaan fonteyn dan 1 penghargaan sansha.
MDA sendiri mengirimkan 28 balerina ke ajang bergengsi dunia yang diikuti 15 negara. Sebanyak 13 balerina masuk final dan 7 di antaranya memenangi kompetisi.
Director of Performing Art MDA Claresta Alim, mengatakan, selama satu minggu dari 5-12 Agustus 2017, para penari mengikuti kelas dan berkompetisi yang sebelumnya sudah digembleng di Tanah Air.
“Dari pagi mereka ada kelas balet, diberikan pengajaran lalu bertanding. Satu kategori kompetisi bisa 80 penari yang ikutan dan harus dipilih 14-18 orang. Kemenangan ini jelas membawa nama harum Indonesia ke kancah internasional,” bangga perempuan cantik lulusan The Washington Ballet School itu, di Jakarta, Jumat (25/8).
Ia mengatakan, ini untuk ketiga kalinya MDA mengikuti ajang tersebut. Dengan kemenangan itu berarti Indonesia baru pertama kalinya dan sukses menembus tingkat dunia.
Para penari membawakan variasi balet dari beberapa cerita, di antaranya adalah Silver Fairy, Princes Florine dari cerita Sleeping Beauty, Cupid dari Don Quixote, 3rd Shade fron La Bayadere, dan Le Corsaire.
Di ajang Asian Grandprix, murid-murid MDA yang berhasil meraih emas di kategori pre competitive 1 yaitu Freya Zaviera Narendrasetya, pre competitive 2 yaitu Ilona Jahja dan pre competitive 3 yaitu Rebecca Alexandria Hadibroto.
Medali perunggu untuk kategori pre competitive 2 diraih Alexandria Charlotte Eleanore dan 2 penari memperoleh penghargaan Fonteyn atau ke-4 yaitu Efania Sumanadevi dan Alya Fathiyyah Zulfa, serta penghargaan sansha atau ke-5 yaitu Raissa Septi Azmi.
Hebatnya, para penari yang meraih juara ditawari untuk mengikuti beasiswa penuh dari Roma, Italia. Sementara yang tidak juara juga ditawari beasiswa 50 persen.
Salah seorang pengajar Jonatha Pranadjaja, menambahkan, ada banyak rival terkuat Indonesia dari negara lainnya. Seperti Filipina, Jepang, Hong Kong, China, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Australia, dan Selandia Baru.
Itu karena mereka sudah terbiasa full time di ballet. Jadi, balet sudah menjadi kegiatan mereka. Soal sekolah, mereka mengikuti secara online dan home schooling. Jadi balet sudah kegiatan mereka. Sementara di Indonesia tidak demikian. Balet hanya sebatas kegiatan ekstrakulikuler.
Ketua Umun Asosisasi Duta Indonesia (ADI) Lisa Ayodhia, yang hadir dalam kesempatan itu, mengaku bangga dengan prestasi yang diraih murid-murid MDA yang masih kecil-kecil ini. Menurutnya, mereka pantas disematkan sebagai duta-duta kesenian Indonesia atas prestasi yang mengharumkan nama Indonesia.
“Sayangnya, balet belum mendapatkan dukungan dari pemerintah. Prestasi ini butuh apresiasi dari pemerintah karena membawa harum nama Indonesia. Tidak. Ada bedanya dengan bidang-bidang lain yang mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Seni adalah universal, jangan dikotak-kotakkan,” tutur perempuan yang selalu energik ini.
“Penari seharusnya dianggap sebagai profesi yang juga menghasilkan. Sayangnya, balet belum diapresiasi dan dihargai sebagai profesi,” tuturnya. (tety)

